Skip to main content

Reaksi tentara Jepang saat pertama kali tiba di Indonesia

Reaksi tentara Jepang saat pertama kali tiba di Indonesia by Santrie Salafie

Reaksi tentara Jepang saat pertama kali tiba di Indonesia digambarkan sedikit di buku "Japan's Occupation of Java in the Second World War: A Transnational History" (Pendudukan Jepang di pulau Jawa pada Perang Dunia Dua: Sebuah Sejarah Transnasional) yang ditulis oleh Ethan Mark, Associate Professor Sejarah Jepang dan Asia Modern di Program Studi Jepang dan Asia di Leiden University. Meskipun hanya mencatat peristiwa yang terjadi di pulau Jawa tetapi cukup menarik untuk menambah wawasan mengenai pemikiran orang Jepang dan peristiwa yang terjadi saat mereka menginjakkan kaki di salah satu pulau di Indonesia.

Content

Pada hari-hari pertama pendaratan Jepang di Indonesia suasananya seolah-olah masih dalam suasana bulan madu yang saat itu orang-orang Indonesia masih mengira kedatangan tentara Jepang adalah untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda, sebelum kemudian ternyata turut dieksploitasi secara massal oleh Jepang.

Dalam bab berjudul "First Encounter" dan sub-bab "A reunion of strangers", Ethan Mark mengompilasi dari berbagai sumber bagaimana reaksi tentara Jepang begitu pertama kali mendarat di Pulau Jawa. Tulisan berikut adalah secuil kutipan yang saya terjemahkan dari bukunya, dengan beberapa paragraf tidak saya masukkan karena tidak berfokus tentang reaksi tentara Jepang.

Awal Masuknya Jepang di Indonesia

Pada malam 28 Februari 1942, pasukan ekspedisi Angkatan Darat ke-16 Jepang mendarat di Banten, Jawa Barat, serta di dua titik lainnya di pantai utara Jawa Tengah dan dan Jawa Timur. Mereka mendarat dengan lancar setelah di hari-hari sebelumnya angkatan laut Jepang telah mengalahkan pasukan gabungan angkatan laut sekutu di pertempuran Laut Jawa.

Di Banten, armada pendaratan Jepang tanpa sengaja berhadapan dengan dua kapal perang sekutu yang sedang melarikan diri dari pertempuran, sehingga kemudian terjadilah adu tembak yang menenggelamkan sebuah kapal yang membawa regu propaganda Jepang beserta material-materialnya.

Regu propaganda tersebut yang disebut bunkajin —selamat dan berhasil menapakkan kaki di pantai. Pertempuran tersebut tetap akan menjadi pertempuran paling sengit yang dialami oleh tentara Jepang, termasuk para bunkajin sepanjang masa perang di pulau Jawa.

Tomizawa Uio

Saat mendarat, salah seorang bunkajin, Tomizawa Uio berceletuk, "Waktu kapal karam, aku terendam minyak sampai muka dan badanku jadi hitam—aku jadi kelihatan seperti orang Indonesia." Setelah menyerahkan ransel beratnya pada ajudan, Tomizawa akhirnya memiliki kebebasan untuk mengalihkan perhatiannya pada pemandangan dan tugas yang diembannya.

Perlahan fajar menyingsing. Ketika matahari mulai membentangkan sinar di ufuk timur ... terdengar kicauan burung-burung kecil ... Di tengah cahaya yang perlahan semakin terang, kami bisa melihat pegunungan hijau, ladang, dan persawahan, yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Saat di dalam kapal rasanya panas sekali, tetapi begitu kami menapakkan kaki di pulau Jawa rasanya begitu dingin sampai-sampai kami menggigil. Angin sepoi-sepi di pagi hari menggoyang dedaunan pohon, harumnya terbawa oleh angin. Bunga-bunga indah bermekaran di perdu ... Apabila memandang sepanjang tepi sungai, maka terlihatlah sawah yang indah sama seperti di Jepang ... Apa yang dikatakan orang-orang ternyata tidak bohong Jawa memang surga dunia. Kami berdiri terpaku ... aku sendiri bertanya-tanya apakah aku sebenarnya sudah mati dan saat ini sedang berada di surga. Kami kemudian membungkuk ke arah Jepang dan bersumpah, layaknya para dewa, kami harus melakukan hal-hal hebat di pulau ini.

Dalam keadaan kelelahan dan lapar, rombongan Tomizawa tiba di titik pertemuan yaitu di sebuah desa yang oleh mereka disebut Ragusaūran (tidak diketahui nama aslinya) di pagi hari. Di perjalanan, para bunkajin menunjuk veteran propaganda China Shimizu Hitoshi beserta jurnalis Ōya Sōichi sebagai juru runding dengan warga setempat. Tapi sejak dari awal perjalanan ke Ragusaūran, tak satupun warga yang terlihat, rumah-rumah mereka kosong.

Shimizu akhirnya menemukan seorang bapak buta yang tertinggal saat warga desa melarikan diri, dia pun berusaha dengan bahasa Indonesia yang patah-patah untuk meyakinkannya bahwa keadaan aman dan saat ini mereka sedang mencari makanan. Kemampuan Shimizhu dalam berbahasa Indonesia yang tidak mengesankan membuat Ōya menanggapinya dengan kalimat " Hidoi doro nawa da ne ! ". Namun, tak lama kemudian para laki-laki desa akhirnya kembali, dan kemudian terjadilah pertemuan pertama antara regu propaganda itu dengan penduduk Jawa barat.

Saat Asano dan rekan-rekannya menunggu makanan dengan cemas, sekitar tiga puluhan "pribumi (genjūmin) yang memakai tudung kepala Turki bernama topi dan sarung di bahu mereka seperti jubah biksu," berarak mendekati mereka, lalu bergantian berlutut dan mengenggam tangan kanan para orang Jepang. "Baru pertama kali ini kami melihat adab semacam ini, tapi bisa dilihat dari sikap ketulusan dan kesungguhan mereka bahwa ini adalah cara mereka untuk menyampaikan kehormatan tertinggi," tulis Asano. Namun, untuk para Jepang yang kelaparan, kelelahan, dan bermandikan minyak, "prosesi ini bukanlah hal sepele."

Para warga begitu sungguh-sungguh (shinken) sehingga hal ini tidak bisa ditanggapi sepele begitu saja. Kami pun harus menjaga sikap badan yang selayaknya pula ... sekitar empat atau lima orang pertama kami masih biasa saja, tapi begitu sudah 10 atau 15 orang, barulah kami mulai gelisah. Tangan kami pun jadi hangat karena genggaman tangan mereka yang saling bergantian satu dengan yang lain—rasanya melelahkan. Namun kami menghargai ketulusan mereka. Ini pertama kalinya kami menjalin kontak dengan orang pribumi, dan bagi mereka ini pertama kalinya mereka berjumpa dengan orang Jepang ... Jadi mereka, para pribumi, setelah saling memutuskan untuk memberikan kehormatan tertinggi, tak diragukan lagi datang kemari untuk menemui anggota tentara Jepang pertama yang mereka jumpai. Mereka menyambut kami sambil berpakaian lengkap dengan kepala dan tetua desa berada di barisan depan.

"Suasana khidmat itu kemudian dipecahkan oleh anak-anak yang bergegas ke arah kami dengan tatapan ingin tahu. Sementara itu, para gadis-gadis desa pun akhirnya kembali ke desa mereka. Terlihat raut lega di antara para warga," catat Asano. "Inilah cara mereka untuk perlahan menunjukkan kasih (shin'ai) mereka pada kami." Setelah menghidangkan camilan pisang rebus, yang disebut oleh orang Jepang "rasanya seperti yaki imo", para warga lalu menyiapkan makanan nasi dan ayam.

Seperti halnya pengamat Jepang lain, Asano menggambarkan pertemuan mereka dengan para "pribumi" sebagai peristiwa yang spontan dan murni.

Daerah Banten yang terletak sebelah barat dari ibu kota adalah daerah paling terpelosok di Jawa, tanpa sekolah ataupun koran. Semua orangnya juga nampaknya buta huruf. Jadi kemungkinan besar di antara mereka tak ada satupun yang tahu negara seperti apa Jepang itu. Tidak heran kalau para petani ini terlalu sederhana untuk menyambut kami dengan mengayun-ayunkan bendera Jepang. Namun perasaan mereka yang sebenarnya memang sangatlah ceria.

Yokoyama Ryūichi

Catatan kartunis Yokoyama Ryūichi yang berada di tempat kejadian lebih awal dari Asano, menggambarkan kejadian yang agak sedikit berbeda. Orang yang pertama kali dijumpai Yokoyama di Ragusaūran katanya "gemetar ketakutan", dia seperti bertemu semacam "setan." "Mungkin dia merasa simpati karena aku bermandikan minyak," tulis Yokoyama, "karena dia kemudian menggenggam jari-jariku dengan tangan gemetaran lalu meletakkannya di keningnya sambil merendahkan badan."Yokoyama Ryūichi

Petangnya, Asano dan rekan-rekan regu propagandanya menginap semalam di desa, di sebuah rumah milik warga setempat. Setelah melepaskan seragam kotornya, Asano menikmati keindahan tempat tersebut, mengamati bajing memanjat dan menuruni pohon kelapa ketika matahari mulai terbenam di balik pucuk-pucuk gunung. "Saat malam tiba, para Jepang ini disajikan dengan tarian-tarian yang dipentaskan di lapangan depan masjid yang diiringi oleh alat musik sekadarnya dan seorang penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu Sunda. Saat itu pula aku mulai tertidur di atas tikar beralaskan tanah." tulisnya, "Aku masih bisa mendengar nyanyian dan suara-suara keras tawa prajurit dari lapangan."

Bila Tomizawa dan Asano sudah terayu oleh keindahan alam lingkungan sekitar dan sambutan yang hangat, untuk anggota yang lain romantisme itu butuh waktu lebih lama untuk mekar.

Kitahara Takeo

"Rumah para penduduk asli tentu saja cuma atap, tembok, dan lantai tanah,"tulis novelis Kitahara Takeo

Di dalam rumah, suasananya gelap gulita dan setelah meraba-raba mencari tempat untuk merebahkan diri, dia dan kartunis Ono Saseo kesulitan untuk tidur karena bajing. Mungkin bajing yang sama dengan yang dikagumi Asano sebelumnya, berlarian di atap dan kadang melompati wajah mereka. Di sebuah buku anak-anak, Ōki Atsuo yang berusia 46 tahun menceritakan bahwa bersama teman-temannya, dia tidur di atas tikar di kamar beralaskan tanah yang baunya aneh khas daratan selatan, dan kemudian terbangun karena ada nyamuk yang dia takutkan membawa virus malaria. Namun reaksi Ōki terhadap keramahtamahan penduduk setempat, termasuk kekagetan mereka kepada para pribumi yang "berjiwa bersih" sampai menolak segala macam pembayaran dari pihak jepang membuatnya terlelap juga diatas tanah jawa saat itu. Dan hal demikian juga sama dengan yang dirasakan oleh Asano.

Ōe Kenji

Di sebuah siaran radio di Jepang, novelis Ōe Kenji yang mendampingi rombongan Angkatan Darat ke-16 yang mendarat dekat Rembang, Jawa Timur, juga menggambarkan dengan simpatik pertemuan pertamanya dengan orang-orang pribumi. Orang-orang Jepang diberikan air kelapa untuk minum yang karena haus, sehingga mereka orang-orang jepang merasakan nikmatnya air kepala pemberian dari orang pribumi yang begitu santunnya kepada mereka. Namun, Ōe juga menunjukkan kekurangtahuannya mengenai moralitas dan pengaruh Islam di pulau Jawa, karena ia menuliskan dengan penuh kekecewaan,

Para wanita mengenakan sanggul rambut hitam tebal dikepalanya. Selain itu, mungkin karena paksaan dari pemerintah Belanda atas nama moralitas. Mereka semua ternyata mengenakan kain penutup badan pada bagian atas yang dilapisi dengan pakaian tipis dan sebagai ganti rok, mereka memakai sarung yang beraneka warna. Di pulau Bali, sebelah pulau Jawa, katanya perempuannya terkenal tidak pakai apapun di tubuh bagian atas mereka. Mungkin dahulu di sini pun juga sama.

Meskipun demikian, dia terkesan dengan para wanita ini yang mampu membawa segala macam barang di atas kepala mereka. Karena itulah tidak satupun dari mereka, bahkan yang sudah tua sekalipun memiliki bahu turun seperti perempuan-perempuan di Jepang. Namun saat ia melihat dari truk, tubuh mereka terlihat rapuh, kemungkinan karena kurang gizi. Ōe menghubungkan ini dengan tingkat infeksi tuberkulosis yang sangat tinggi dan menyarankan agar masalah ini harus dipertimbangkan secara saksama oleh administrasi Jepang ke depannya. Walau demikian, tetap saja pergerakan Jepang ke selatan bukan hanya soal kebajikan tanpa pamrih.

Sebab tak pernah terbayangkan bahwa dengan setiap putaran roda truk kami, wilayah kekaisaran Jepang terus meluas.sambung Ōe Kenji

Dalam beberapa jam setelah pendaratan, beberapa poin pokok yang mencirikan tanggapan orang Jepang terhadap pulau Jawa mulai bermunculan, seperti:

  1. White man's burden (beban orang kulit putih) baik hati yang memiliki tugas untuk memberikan keuntungan teknologi modern kepada orang-orang pribumi;
  2. Euforia perluasan wilayah kekaisaran;
  3. Rasa keterasingan atau dengan penafsiran secara lebih positif adalah eksotisme terhadap orang-orang pribumi yang sederhana dan primitif, yang kadangkala tercampur dengan romantisme rasa kedekatan dan kehangatan.
Hal-hal ini jika ditempatkan pada konteks pengalaman kolonial secara global, tidaklah mengejutkan ataupun aneh.

Machida

Namun dalam perjumpaan orang Jepang dengan Indonesia dan orang Indonesia, sejak awal ada juga unsur-unsur yang melampaui hal-hal konvensional. Perasaan pimpinan regu Machida ketika pertama kali terbangun di Jawa tidaklah biasa.

Pagi—. Aku terbangun oleh suara kotak musik. Suara kotak musik yang ternyata adalah suara kicauan burung yang tak terhitung jumlahnya. Aku nyaris saja terkejut kebingungan. Bukan hanya telingaku saja. Indra penciumanku pun bergelora. Aku mencium wangi yang terasa jauh, memusingkan, namun sama sekali tidak asing. Ketika aku sadar bahwa itu adalah bau tanaman padi, emosiku memuncak. Ini adalah harum kampung halaman yang telah kutinggalkan sejak kecil, harum yang menemani orang Jepang sejak dahulu kala, yang membangkitkan benak keabadian, tentulah orang-orang Jawa pun paham tentang ini. Ah, tak bisa kubayangkan tempat ini sebagai negeri asing.Machida

(Machida bahkan mengungkapkan bahwa "perasaan pada pagi itu" menggambarkan "sebuah kekuatan yang dengan lembut mengarahkannya agar sedikit melepaskan diri dari tujuan militer dan menuju kemerdekaan Indonesia)".

Abe Tomoji

Ketika memandang pegunungan Jawa yang hijau dan pepohonan yang sejuk, rerumputan, bunga-bunga dan persawahan, salah satu anggota bunkajin, Abe Tomoji menuliskan bahwa,

"hatiku berseru 'inilah Toyoashihara no mizuho no kuni (Jepang) yang baru', bukan hanya mengenai pemandangannya saja, tapi juga menghormati perkembangan besar dan mendalam bangsa kita. Ketika kami para orang Jepang memandangi bentangan persawahan, membuncah rasa kerinduan (natsukashii) ini dengan kampung halaman."Abe Tomoji

Dia kemudian juga mencatat bahwa ungkapan ini lebih dari sekadar kata-kata yang dibesar-besarkan karena emosi sesaat saat mendarat.

Dilain waktu, ketika berkendara ke pedalaman dari pantai Jawa Timur, Ōe Kenji merasa terpukau:

Pemandangan (fūbutsu) Jawa persis sama dengan Jepang. Jika pohon-pohon kelapa ini diganti dengan pohon-pohon pinus, maka tak ubahnya kita seolah bepergian di pedalaman Jepang. Alat-alat di lumbung petani juga terlihat sama dengan yang dipakai di Jepang. Tampak rumah-rumahnya juga mirip dengan gaya haniwa (patung tanah liat) yang digali dari kofun (gundukan pemakaman kuno Jepang). Sama seperti di Jepang, tembok-tembok rumah terbuat dari tanah liat yang tidak dicat, menggunakan anyaman bambu yang disatukan. Tempat tidur mereka seperti kursi bambu yang digunakan di malam musim panas yang sejuk di Jepang, tapi lebih besar.Ōe Kenji

Para bunkajin tidak sendirian dalam pengamatan ini. Para pasukan yang bersama Ōe yang terbiasa bertempur di wilayah dataran Cina dibuat bingung dan takjub ketika mereka berjalan melewati pemandangan kampung halaman yang rimbun dan tidak seperti asing dipandangan mereka. Karena sawah-sawah tersebut, seorang wartawan melaporkan bahwa tentara-tentara Jepang merasa kesulitan karena mendapati daerah Bandung terlalu mirip Jepang, dalam artian membuat mereka menjadi sangat rindu kampung halaman. Pengalaman ini pun juga diiringi sisi humor: saat seorang prajurit yang mendampingi Ōe berceletuk, "bahkan katak-katak di sini pun suaranya sama persis dengan di rumah," yang lain menanggapi, "ya kan tidak mungkin katak-katak ini tiba-tiba berbahasa Melayu".

Yang lebih luar biasanya lagi ialah para pengamat Jepang cepat sekali merasakan hubungan rasial yang lebih dekat dengan orang-orang di Jawa dibandingkan bangsa lain di Asia Timur. Letkol Machida menulis,

Orang Jepang berkulit gelap lebih mirip pribumi dibanding orang Indonesia berkulit terang. Perempuan-perempuan Indonesia pada umumnya berkulit terang, kalau Anda tempatkan saja salah satu dari mereka di Jepang, tidak akan ada yang sadar bahwa mereka berasal dari ras yang berbeda. Kesamaan fisik ini juga berlaku pada orang Thailand dan Melayu. Bentuk wajah mereka tidak datar seperti orang Cina atau Korea, tapi lebih seperti orang Jepang. Kami, orang-orang Jepang terkejut karena orang Jawa terlihat persis orang Jepang.Machida

Takeda Rintarō

Mantan penulis sastra proletar, Takeda Rintarō, yang selalu diawasi dengan kecurigaan karena dianggap kurang mengabdi pada tujuan kekaisaran pun juga turut tertawan dengan perasaan "pulang kampung" ini.

Aku merasakan pemikiran aneh, pulau ini bukanlah tempat yang asing. Aku pernah ke tempat ini sebelumnya. Tentu sebenarnya tidak, tapi aku tahu betul tempat ini." Sebuah logika yang tidak wajar, tapi aku pun secara naluriah melanjutkannya. Walau aku tidak tahu tentang pulau ini, tapi darah yang mengalir dalam tubuhku paham benar pulau ini. Tanpa berpikir, aku mengutarakan kira-kira kalimat seperti itu kepada para prajurit di sebelahku.Takeda Rintarō

[Mereka menjawab:] "Kau juga? Sebenarnya, entah bagaimana aku juga memiliki perasaan yang sama ... " Mereka bilang mereka sering merasakan sensasi seperti ini. Perasaan yang sering aku alami saat berada di Jepang. Tapi kali ini, entah kenapa rasanya lebih mendalam: Sebuah rasa yang membangkitkan suatu kenangan yang kabur, berkabut, kuno. Dalam tafsiran ini, Jawa bukan hanya tempat yang menyerupai Jepang, tapi sebuah tempat yang di dalamnya sudah mengalir darah Jepang, semacam pewarisan rasial.

Takeda menulis,

Selagi kami melanjutkan perjalanan, ketika orang-orang pribumi ini menyambut kami dengan sukacita sebagai kawan karib, ketika aku melihat kehidupan mereka yang tinggal di bawah atap ijuk dengan dua sisi yang runcing serta chigi terpasang di atas empat tiang yang terlihat seperti kuil shintō di desa-desa kecil, ketika aku melihat sawah padi yang subur dan melintasi jalan-jalan dataran tinggi dengan gunung-gunung yang menyerupai gunung Fuji, berkali-kali, maka memang benarlah bahwa ini adalah kesan awal kami yang sangat menakjubkan terhadap pulau ini.Takeda Rintarō

Reaksi tentara Jepang saat pertama kali tiba di Indonesia by Santrie Salafie

Ilustrasi "Gadis menanam padi" yang menggambarkan keyakinan banyak orang Jepang saat itu bahwa orang Asia memiliki asal yang sama.

Bagi pengamat-pengamat yang bersemangat ini, Indonesia menjadi tak lain dan tak bukan adalah asal dari Asia itu sendiri, membeku dalam waktu oleh penindasan Barat sejak terakhir kali terkait dengan Jepang berabad-abad sebelumnya, dan dengan sabar menantikan pertemuan kembali yang telah ditakdirkan sebagai sesama Asia. Sementara Jepang terus maju, dinamis, dan aktif dalam menghadapi ancaman Barat, namun Indonesia nampak tetap diam dan pasif. Berdasarkan hal itulah, sudah sewajarnya bagi Jepang untuk "pulang" dan membawa Indonesia ke dunia modern. Sebaliknya, bagi Jepang yang telah kehilangan jalannya dalam jalan menuju modernitas dan mencari jawaban di "Asia" yang malahan mendapat perlawanan dari China dan Asia yang menolak untuk mengikuti skenario yang telah dituliskan oleh Jepang, menjadikan Indonesia seolah menjadi takdir yang telah disuratkan oleh langit.

Bagi orang-orang Jepang, peristiwa-peristiwa yang berlangsung di hari-hari berikutnya semakin meningkatkan intensitas pengalaman ini berkali-kali lipat. Karena tidak hanya di daerah pendaratan Jawa barat dan Jawa Timur saja, tetapi di seluruh Hindia Belanda, penduduk setempat menyambut orang-orang Jepang yang tiba dengan emosi yang meluap-luap.

Sambutan Pribumi

  • Asano Akira dan rekan-rekannya
Pada pagi hari tanggal 3 Maret 1942, Asano Akira dan rekan-rekannya menumpang truk yang masih lowong lalu melaju cepat menuju Serang, yang kemudian disambut dengan teriakan-teriakan mengejutkan dari penduduk asli yang sudah membentuk barisan di sepanjang jalan. Suatu sambutan yang benar-benar mencengangkan. Perasaan yang timbul dari kejadian saat itu adalah sesuatu yang sudah tentu akan terkenang terus seumur hidup kami. Laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, semua orang telah berbaris. Mereka lalu menyambut kami dengan seruan-seruan keras sambil mengangkat kedua tangan mereka.

Diantara mereka ada wanita yang nampaknya merupakan kakyō (tionghoa perantauan) yang mengibarkan bendera Jepang dan berteriak banzai, tapi kami jauh lebih berterima kasih atas sambutan orang-orang asli Indonesia, yang menyambut dengan tangan kosong dan menyerukan kata-kata yang tak bisa kami pahami. Alasannya, wajah lugu (sobokuna) orang-orang Sunda (Jawa Barat) ini terlihat begitu bersemangat. Ekspresi kegembiraan yang meluap-luap. Awan gelap Belanda yang telah menindas mereka selama lebih dari 300 tahun telah ditiup oleh hembusan angin tentara kekaisaran dan cahaya mentari kini menyinari bagaikan hujan. Inilah yang dimaksud dengan bermandikan rahmat kaisar (kōka ni yoku suru), kami balas melambaikan tangan pada mereka dari atas truk. Walaupun kami terus melaju dan melaju, barisan sambutan manusia ini seakan tiada habisnya.

Sekali lagi, di sini Asano menggambarkan sambutan penduduk pribumi terhadap tentara Jepang sebagai pencurahan emosi yang terjadi secara spontan. Hal ini dikontraskan dengan orang-orang Tionghoa setempat, yang karena kecerdikan politiknya terlihat mencerminkan proporsi unsur-unsur perhitungan dan ketidak tulusan.

  • Ōe Kenji
Ōe Kenji juga mengisahkan hal serupa dari Jawa Timur. Saat dia melaju dengan truk tentara, anak-anak bergegas keluar, semuanya menaikkan ibu jari kanan mereka dan meneriakkan sesuatu. Seorang rekan yang fasih berbahasa Melayu kemudian menjelaskan kalau anak-anak tersebut meneriakkan "jumbōru", teriakan tersebut dan jempol ke atas, berarti "nomor satu" atau "kelas atas".

Dengan kata lain, kata-kata dan isyarat penyambutan ini mengatakan bahwa tentara Jepang adalah yang paling terkuat. Tidak hanya anak-anak, tapi orang dewasa, laki-laki dan perempuan pun juga mengangkat ibu jari mereka dan berteriak jumbōru, nampaknya karena mereka melihat ternyata kami memiliki kulit yang mirip dan serupa dengan mereka, mereka menjadi sangat gembira seakan kerabat mereka akhirnya telah datang untuk menyelamatkan mereka.

Hitoshi Imamura

Empat hari setelah mendarat, ketika Belanda mundur ke pertahanan gunung mereka di Bandung 140 kilometer di timur ibukota Batavia (Jakarta) yang diumumkan sebagai kota terbuka, tentara Jepang semakin terlihat tak terkalahkan. Sementara Belanda seakan membenarkan stereotip orang Jepang saat itu terhadap orang Barat yang bermoral rendah dan berkemauan lemah yang menunjukkan hampir tiada kemauan untuk bertempur. Para bunkajin menggambarkan, moral, motivasi, dan disiplin tentara Jepang saat itu benar-benar tinggi-tingginya. Namun dalam pendudukan Singapura hanya beberapa minggu sebelumnya, prajurit-prajurit Jepang terlibat dalam penjarahan, pemerkosaan, pencurian, dan pembunuhan. Khawatir hal tersebut berulang, panglima Angkatan Darat ke-16, Hitoshi Imamura, menempatkan pasukannya di luar perbatasan kota Batavia dan hanya memperbolehkan regu propaganda dan anggota Seksi Pemerintahan Militer untuk memasuki kota. Bagi mereka yang memasuki Batavia, kontak dengan penduduk setempat semakin menegaskan kontras dengan China.

"Pada pagi hari tanggal tujuh bulan Maret, pasukan utama regu propaganda memasuki Batavia", catat Asano. "terdapat kerumunan orang yang begitu ramai sampai-sampai tidak bisa menggerakkan badan. Orang-orang Indonesia, pria dan wanita, muda dan tua, dengan gembira menyambut kami, meneriakkan suatu kata-kata." Di depan keramaian orang Indonesia, Shimizu kemudian berbicara dan disambut dengan tepuk tangan meriah yang nampaknya karena kekuatan emosi telah mengalahkan penghalang bahasa. Rekan-rekan anggota regunya memuji Shimizu sebagai seorang jenius, walaupun penerjemah Nakamura Genkichi yang mengamati menanggapi bahwa "kefasihan dan studi bahasa adalah dua hal yang berbeda." Shimizu sendiri kewalahan oleh sambutan orang Indonesia yang hangat, terutama bila dibandingkan dengan pengalamannya sebelumnya.

"Kami sangat berhasil di awal-awal, semuanya terjadi secara murni dan aku benar-benar menyukai bangsa ini, aku menjadi sayang pada mereka."Shimizu

ucap Shimizu. Kemudian, sambil mengungkapkan pernyataan selanjutnya:

Aku tidak tahu apakah ini bisa disebut rasa hormat, tapi mau tidak mau aku merasa sayang pada orang Indonesia. Sekali lagi, ini berbeda dengan pengalaman saya sewaktu di China. Orang Indonesia terasa lebih dekat kepada kami dibandingkan di China, yang katanya merupakan ras yang sama dan berasal dari leluhur yang sama, tapi kenyataannya hubungan seperti ini sama sekali tak pernah terjadi.Shimizu

Penjarahan Harta

Tidak semua orang Jepang sama-sama tergugah dengan sambutan orang Indonesia. Setelah euforia awal, Ōe Kenji terkejut begitu mengetahui masyarakat Indonesia menafsirkan bahwa kedatangan tentara Jepang sebagai lampu hijau untuk menyita harta milik musuh. Begitu truknya mendekati kota Cepu di Jawa Timur, Ōe memperhatikan sekerumunan orang yang berkeliaran di sepanjang jalan seperti semut sebelum badai. Begitu melihat lebih dekat, dia menyadari bahwa mereka telah menyerbu toko-toko dan rumah-rumah orang Belanda, Cina, dan lainnya yang telah melarikan diri sebelum serangan tentara Jepang.

Pertama mereka membawa makanan, tetapi kemudian menjadi perabotan, lalu barang-barang tempelan, dan pada akhirnya segala macam barang yang bisa mereka ambil; mereka memanggul barang-barang itu sendiri, terkadang berdua, namun juga terkadang berempat. Dalam kegembiraan penjarahan, mereka melakukan perjalanan yang tak terhitung jumlahnya ke kota yang jauh ini, tanpa terusik oleh sengatan matahari, membawa barang-barang tersebut ke rumah mereka.Di kota kecil Cepu, bahkan ketika satuan kami melintas, mereka tidak sedikitpun menunjukkan raut menyesal, tetapi terus membobol satu toko Tionghoa perantauan (kakyō) ke toko yang lain. Bahkan setelah mereka membawa barang bawaan yang lebih besar dari mereka, mereka masih bisa mengangkat ibu jari mereka dengan lihainya dan memanggil ke arah kami. "jumbōru!" Seolah-olah mereka berkata, "berkat kalian, kami bebas sebebasnya, lihatlah berapa banyak yang bisa kami bawa pulang!" Aku berpikir ke diriku sendiri, "Ini gawat! Bagaimana kalau ini menyebar ke seluruh Jawa?"

Ōe dan rekan-rekannya sedang menyaksikan fenomena yang disebut perampokan, penjarahan toko-toko, hunian, dan kantor-kantor yang kebanyakan dimiliki oleh orang Belanda dan Tionghoa perantauan. Walaupun fenomena ini tidak terjadi di semua wilayah di Surabaya. Contohnya, sebagian besar tidak terpengaruh perampokan mencapai proporsi yang dramatis di sepanjang Jawa dan Sumatra pada masa ini, sebuah kekacauan massal yang terjadi di tengah kekosongan politik setelah mundurnya Belanda. Perwira intelijen Tsuchiya Kisō yang berada di belakang garis musuh di Banten-Jawa Barat, pada hari pertama pendaratan Jepang juga mengingat peristiwa yang serupa.

Di depan stasiun, petani, gelandangan, dan sejenisnya telah membobol gerbang-gerbang toko Cina dan sedang menjarahi isi-isinya. Aku mengarahkan senjataku ke udara dan menembak dengan penuh ancaman, tetapi air mata mereka telah berubah karena kesempatan sekali seumur hidup ini. Bahkan seolah-olah mereka berpikir, "tentara Jepang tak punya alasan untuk menghalangi apa yang kami perbuat." Mereka tak menunjukkan sedikitpun rasa khawatir. Karena tak ada lagi cara untuk mengendalikan mereka, aku pun menyerah.

Menghadapi perampokan, Ōe Kenji terpaksa mengakui kemungkinan mengerikan bahwa massa Jawa, sebagian karena hasil propaganda Jepang sendiri, mungkin menyambut tentara Jepang karena alasan yang cukup berbeda dari yang awalnya dia pikirkan.

Bahkan, karena kami tak pernah berpikir bahwa orang pribumi akan melakukan perilaku penjarahan seperti ini, kami sebenarnya sudah menyiapkan poster dan selebaran berisi tulisan yang menyerukan agar mereka meninggalkan Belanda, bahwa mereka berkulit dan berbangsa sama dengan Jepang, meluap-luap dengan makna bahwa kita harus saling dekat satu sama lain. Tapi kalau poster dan selebaran itu kami sebarkan, bisa jadi akan memperparah penjarahan. Sebenarnya, begitu aku menyaksikan kejadian seperti ini, seolah-olah benak romantis yang aku miliki tentang orang Indonesia langsung dipukul keluar dari kepalaku, bulu kudukku berdiri dan bahkan di tengah panas, aku merinding. Mereka bukan menyambut kami karena alasan-alasan yang sebelumnya kami pikirkan, tapi karena pemahaman mereka bahwa kami akan membiarkan mereka mencuri begitu saja.

Pembebasan juga ada batasnya, dan kontrol Jepang yang tegas beserta perlindungan barang pribadi harus segera diamankan. "Bila kita tidak mengambil pendekatan yang lebih ketat, kita akan berada dalam situasi yang konyol," simpul Ōe. "Kita harus lekas mempropagandakan bahwa biarpun Belanda dan Cina dianggap sebagai musuh, tentara Jepang tidak akan mentoleransi sedikitpun pencurian barang pribadi."

Esok paginya, jengkel setelah menghabiskan malam di sebuah rumah bekas Belanda yang mewah tapi kosong karena perabotan, makanan, dan bahkan perlengkapannya telah disikat bersih oleh penjarah, Ōe dan rekan-rekannya beranjak meyakinkan para penduduk setempat untuk mengembalikan barang-barang yang telah mereka jarah.

Ahli bahasa Melayu Takeuchi, Shimazu, dan Etō (ketiganya tinggal di Hindia-Belanda sejak sebelum perang) kemudian mengumpulkan para warga desa di daerah sekitar, lalu mulai membujuk mereka. Kami juga ikut pergi dan melihat desa-desa, tapi entah gila atau menggelikan? Rumah-rumah kecil mereka dipenuhi barang-barang yang sudah mereka jarah. Beberapa barang bahkan tidak muat, sehingga ditumpuk di luar rumah. Namun demikian, ada pula yang meniru dekorasi ala Belanda, mereka memasang tempat tidur, menjejerkan empat radio di sebelahnya, menggantung tiga jam listrik, sambil merokok dengan santainya. Seolah-olah mereka tidak merasa mencuri itu perbuatan tercela. Saat kami menanyai mereka, mereka dengan tenang menjawab bahwa "ini barang-barang orang Belanda dan Cina," seolah tentara Jepang yang menyuruh mereka.

Ketika juru bicara Jepang memberitahu para warga desa kalau mencuri properti milik musuh tidak diperbolehkan dan memerintahkan mereka untuk mengembalikannya, para warga desa langsung mengembalikan semua barang jarahan tersebut ke tempat asalnya. Mereka nampaknya berpikir kalau barang yang diambil dikembalikan begitu saja semuanya sudah beres. Bukan karena mereka berencana untuk menjual barang-barang tersebut, atau untuk menggunakannya sendiri. Lebih dari itu, dalam naluri primitif mereka, mereka dimabukkan oleh rasa puas memiliki. Tak peduli seberapa banyak mereka diberitahu tentang ketertiban sosial atau menyadarkan mereka melalui refleksi moralitas, semuanya tak ada gunanya kepada orang-orang yang dangkal (kihakuna) ini. Sambil bermandikan keringat, mereka mulai bolak-balik mengembalikan barang-barang tersebut. Namun begitu kami pergi, pasti mereka akan kembali membawa barang-barang ini ke rumah mereka seperti semut.

Sikap acuh tak acuh dari masyarakat Jawa menunjukkan keyakinan mereka bahwa kedatangan Jepang dianggap sebagai penataan ulang sosio ekonomi yang juga berarti termasuk pembagian barang-barang "tidak sah" milik musuh bersama yaitu orang Belanda dan Tionghoa. Menghadapi perilaku pribumi yang tidak nyaman dan subyektif ini, benak romantis Ōe terhadap Indonesia langsung hilang begitu saja dan menyingkap sisi lain dari koin kolonialisme: asumsi pribumi sebagai bangsa primitif, bertindak berdasarkan naluri, tidak memiliki nurani dan egois. Orang-orang Jepang lain nampaknya sejak sebelumnya sudah memendam asumsi-asumsi semacam ini.

Tujuan Jepang di Indonesia

Seorang pengamat yang sinis menulis untuk pembaca Jepang setempat tiga hari setelah kemenangan, ia mencirikan "Tujuan Jepang" sebagai berikut:

Orang Indonesia telah menyambut kita. Tapi tampaknya mereka bingung bagaimana harus mengekspresikan rasa permusuhan kepada Belanda. Di bawah 300 tahun penindasan Belanda, mereka sudah dibuat dungu (gumai), dibuat mati rasa (mukankaku). Jangan kira karena Jepang sudah datang mereka bisa makan begitu saja tanpa harus bekerja. Pertama-tama, kita harus menyelamatkan orang Indonesia dari kebiasaan malas (taida). Kita harus mengajari mereka kerja, usaha, kesabaran, dan pengabdian. Jika mereka tahu betapa banyak kesulitan dan penderitaan yang dialami Jepang agar dapat mencapai tingkat kekuatan nasional dan status internasional seperti saat ini, mereka akan sadar bahwa menjadi saudara bangsa Jepang bukanlah hal yang mudah. Sampai saat ini mereka telah menjadi kuli pemalas Belanda. Mulai sekarang kita harus membuat mereka menjadi pekerja yang rajin untuk Jepang dan Asia.

"Kuli pemalas": mungkin tak ada dua kata yang lebih jelas dalam menggambarkan paradoks pembangunan masa perang Jepang terhadap masyarakat Indonesia, serta campuran kesombongan kolonial dan simpati anti-kolonial yang ada di dalamnya. Di puncak komando, panglima Imamura tetap termasuk orang Jepang yang simpati terhadap Indonesia, walaupun masih berjiwa kolonial. Pada konferensi pers yang diadakan tepat setelah penyerahan Belanda, dia merangkum tujuan Jepang menuju "penduduk asli yang patuh."

Seperti yang Anda sekalian lihat dari bagaimana kami disambut, para penduduk asli sudah jelas menghendaki Jepang. Tujuan terbesar kami adalah untuk mencurahkan kekuasaan kaisar kepada penduduk asli penurut yang telah menyambut kami dengan sungguh-sungguh. Saya yakin bahwa para penduduk asli telah benar-benar menolak Belanda akibat kebijakan eksploitasi mereka. Oleh karena itu, dengan semangat jalan kekaisaran, dengan mencurahkan kekuasaan kaisar, kami harus membuat kesejahteraan penduduk asli menjadi pusat pemikiran kami. Adalah suatu kesalahan untuk menjadikan mereka sebagai objek eksploitasi seluruh bangsa Jepang. Saya percaya di saat yang bersamaan kami harus berusaha demi kebahagiaan mereka. Tidak bisa lagi hanya mengeksploitasi. Kecuali untuk minyak.Imamura

Kekuatan emosional dari juru bicara Jepang yang nampak sepenuh hati berkomitmen demi pembangunan sesama saudara Asia. Meskipun berdasarkan cara mereka sendiri membuat kesan yang kuat bagi orang Indonesia yang terpapar propaganda Jepang, terutama di hari-hari awal pendudukan Jepang. Seperti Jepang, Indonesia juga bersemangat dengan prospek yang terbuka dengan datangnya Jepang. Namun karena tergoda oleh sambutan yang hangat serta bayangan kesederhanaan, kemenangan yang mudah atas Belanda, dan pembenaran yang mendalam terhadap diri sendiri dan perjuangan yang mereka percayai, mudah bagi Jepang untuk untuk mengabaikan bahwa sambutan ini bersifat bersyarat, serta bermacam-macam agenda lokal dan subjektif yang ada di baliknya.

"Hindia Timur telah jatuh dari kekuasaan Belanda selama 300 tahun. Tujuan agung tentara kaisar adalah untuk memperjelas bagi penduduk Hindia Timur makna dari kenyataan sejarah agung ini,"seru Sekidōhō, surat kabar baru berbahasa Jepang yang diterbitkan oleh regu propaganda pada 9 Maret—tanggal penyerahan Belanda.

Kesimpulan

  • Sub-bab dari sudut pandang tentara Jepang tidak berakhir di sini, karena sub-bab berikutnya membahas kedatangan tentara Jepang dari sudut pandang orang Indonesia juga sangat menarik sekali. Tapi Admin khawatir jika Admin mengutip terlalu banyak, kesannya Admin jadi seperti membajak. Jika jawaban ini tidak etis (melanggar hak cipta) tolong beritahukan Admin untuk menghapus jawaban ini.
  • Menurut Admin, buku "Japan's Occupation of Java in the Second World War: A Transnational History" ini sangat menarik untuk dibaca terutama bagi yang berminat dengan sejarah zaman Jepang di Indonesia, karena peristiwa-peristiwanya dituliskan dalam bentuk narasi. Jadinya kita seakan sedang membaca novel sejarah. Tema bagaimana antara Jepang dengan Jawa bersama-sama memiliki kepentingan pada masa Perang Dunia II dan dampaknya terhadap sejarah Indonesia juga cukup lengkap sekali karena diambil berdasarkan sumber-sumber dari Indonesia dan Jepang, dan diceriterakan dari sudut pandang personal.
  • Dengan demikian walaupun bukan murni hasil penelitian Admin sendiri, hanya berupa terjemahan, tetapi semoga jawaban ini tetap bisa menambah wawasan kita semua tentang sejarah tentara Jepang saat pertama kali tiba di Indonesia. Salam santun dan semoga bermanfaat.

Baca juga: Efek Matthew dalam Ilmu Pendidikan

Tambahkan aplikasi Santrie Salafie di smartphone tanpa install

  1. Buka SantrieSalafie.com dengan browser Chrome di smartphone
  2. Klik ikon 3 titik di browser
  3. Pilih "Tambahkan ke layar utama"
  4. Selanjutnya klik aplikasi Santrie Salafie dari layar utama smartphone Anda untuk menggunakannya.

Atau, ikuti Santrie Salafie di Google News dengan klik icon untuk mulai mengikuti dan mendapatkan pengalaman membaca lebih mudah.

Comment Policy: Silakan baca Kebijakan Komentar kami sebelum berkomentar.
Buka Komentar
Tutup Komentar
-->