Kumpulan Kisah Cerita Tentang Rindu Bagian Pertama
Santrie Salafie 13.8.19
Kumpulan Kisah Cerita Tentang Rindu Bagian Pertama - Pernahkah kalian membaca atau mendengar kisah tentang Kumpulan Kisah Cerita Tentang Rindu Bagian Pertama? Bagaimana rasanya saat kerinduan itu datang menghampiri kalian? Seperti apa sih warna dan bentuk kerinduan itu? Lantas, kepada siapa kalian merindu?
Nah, pada kesempatan kali ini Santrie Salafie akan berbagi tentang Kumpulan Kisah Cerita Tentang Rindu Bagian Pertama. Selengkapnya, langsung saja yuk scroll ke bawah untuk menyimak lebih lanjut tentang Kumpulan Kisah Cerita Tentang Rindu Bagian Pertama.
Kisah Cerita Tentang Rindu
Lelaki dengan kemeja flanel biru dan dalaman kaos putih itu sibuk mengobrak-abrik isi lemarinya mencari celana jeans yang akan ia gunakan untuk melengkapi style berpakaiannya.Rambut yang beberapa menit lalu ia tata rapi dengan gel rambut, kini sudah kembali berantakan karena ulahnya yang saking kerasnya mencari keberadaan celananya, membuat tangannya gatal untuk mengacak-acak rambutnya.
Kalau bukan karena celana jeans tersebut adalah pemberian dari kekasihnya, Saveri tak akan sepusing ini mencarinya. Apalagi sekarang ia akan berkencan dengan kekasihnya. Tentu saja celana itu akan sangat membantu kesuksesan kencan mereka.
Dengan celana training warna hijau dengan garis putih di kedua sisi jahitan yang masih ia kenakan, lelaki itu bergerak ke arah ranjang king sizenya untuk mengambil ponsel yang sedari tadi berdering.
Dari sekian banyak pesan masuk dari pengirim yang berbeda, jempol Saveri mendarat pada nama yang paling banyak mengiriminya pesan.
- Rindunya Saveri: Pacarku
- Rindunya Saveri: Malam jum'at ngapain? Jalan-jalan yuks..
- Rindunya Saveri: Kita kencan
- Rindunya Saveri: Di malam jum'at ini. Hanya kita berdua.
- Rindunya Saveri: Pacar, aku ke rumahmu ya
- Rindunya Saveri: Kok pacar nggak ada?
- Rindunya Saveri: Kata Bunda pacar beli obat ya? Obat apa? Pacar sakit?
- Rindunya Saveri: Aku capek nungguin Pacar nggak pulang-pulang. Jadi aku pulang dulu yah.
- Rindunya Saveri: jangan kangen
- Rindunya Saveri: Aku bawa oleh-oleh btw
Setelah membaca pesan tersebut, tanpa pikir panjang Saveri berderap ke pintu.
Anya sudah akan bersiap mengetuk pintu kamar Kakaknya itu. Tangannya mengambang di udara saat ketika kakaknya muncul dari balik pintu. Anya meneliti penampilan Saveri dari atas ke bawah. Dahinya mengernyit dan bibirnya menahan tawa geli.
"Nggak usah ngeledek," kata Saveri dengan ketus.
Anya yang mendengar perkataan ketus dari Kakaknya hanya memutar bola mata. "Lagian aneh tau, nggak, sih, Bang. Mau kencan juga pakaiannya begitu amat. Ah, bomat juga, dah. Eh iya, Kak Karin di bawah udah nungguin, noh. Lama amat kayak cewek lo."
Saveri tak menjawab, ia langsung melenggang pergi ke bawah untuk menemui dulu kekasihnya.
Suara musik menghentak di penjuru ruangan dengan nuansa biru langit ini. Sang pemilik kamar sedang berada di beranda kamarnya dengan telepon yang menempel di telinga.
"Yah, gue ajakin kencan juga nggak dibales, malah diread doang," cibir gadis itu dengan sebelah siku ia tumpukan di besi pembatas berandanya.
Angin malam semakin berembus. Pakaian tidur berwarna biru dengan beruang besar tepat di perutnya membuat tubuh Rindu sedikit menggigil. "Tu cewek udah kayak kunti. Keluar kencan pakek putih-putih. Gue nggak mau tahu, An. Lo sebagai Adiknya musti ngelarang!" Katanya dengan tegas.
Suara pintu diketuk menginterupsinya untuk menoleh. "Yaudah, deh, An. Kayaknya pacar gue beneran ke sini." Ia terkikik sebentar. "Bye, Adik Ipar."
Gadis itu melangkah untuk mengecilkan volume musik dan berjalan ke arah pintu untuk ia buka. "Iya, bentar."
Dari balik pintu, ia mendapati Mamanya dengan pakaian tidur celana panjang dan wajah putih oleh masker tak lupa juga rambut yang roll menyambutnya. "Rindu, Rindu, kamu buat ulah apalagi sampek Saveri malem-malem nyari ke sini? Sana samperin!"
"Oke, siap, Ma!"
Saveri berdiri di teras dengan kedua tangan berada di pinggang. Tiba-tiba ada sebuah tangan melingkar di sekitar tubuhnya. Tanpa memutar badan pun, Saveri sudah tahu siapa pelaku tersebut. Saveri segera memutar tubuhnya dan melangkah beberapa langkah ke belakang menjauhi gadis yang berumur empat tahun di bawahnya ini. "Hai, Pacar," sapa Rindu itu dengan cengiran lebar. "Balikin celana jeans gue!" Tanpa basa-basi, Saveri berujar. "Yah, belum gue foto, juga." Rindu mendesah kecewa.
"Gue nggak mau tau. Balikin sekarang atau gue masuk paksa ke kamar lo," ancam Saveri yang selalu berhasil membuat Rindu menuruti perkataannya. Gadis itu kemudian berbalik untuk mengambilkan celana jeans yang entah sudah ke berapa ia tilap. Entah kenapa Rindu suka sekali mengambil barang-barang Saveri untuk kemudian ia foto dan dijadikan album tersendiri.
Dan mengenai ancaman Saveri tadi, Rindu sangat tidak memperbolehkan siapapun memasuki kamarnya jika tidak ada kepentingan yang mendesak, tanpa terkecuali. Untuk urusan bersih-bersih, Rindu masih bisa melakukannya sendiri.
"Nih." Rindu menyodorkan lipatan kain yang Saveri yakini sebagai objek yang membuatnya harus lagi-lagi berurusan dengan gadis pengganggu di depannya ini. Dengan sekali tarikan, kain tersebut sudah beralih ke tangan Saveri. Lelaki itu kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan kata-kata apapun. "Kapan lo bisa nerima perasaan gue? Jangan bilang kapan-kapan. Karena nunggu kapan-kapan itu pasti lama," gumam Rindu dengan menundukkan kepalanya.
26 Juli 2017
Kisah Cerita Tentang Rindu 1
Rindu menata sedikit ikatan rambutnya agar terlihat lebih rapi. Kemudian dengan cekatan ia menyambar tas dan juga sepatunya untuk kemudian ia bawa ke bawah. Rindu mendapati Mamanya sedang berkutat dengan peralatan dapur. Seperti kebiasaan sebelumnya, Rindu akan berlari ke arah Mama dan memeluknya dari belakang."Pagi, Mama Cantik."
Mama yang sedang memasukkan irisan sosis ke wajan sedikit terlonjak. "Kebiasaan banget bikin Mama senam jantung pagi-pagi." Salah satu kesukaan Rindu, ia suka pelukan. Rindu hanya terkikik dan berjalan ke meja makan dan duduk di kursinya. Gadis itu mengambil dua lembar roti tawar yang pinggirannya sudah disingkirkan terlebih dulu oleh Mamanya.
"Ma, nasgornya buat bekal kayak biasa, ya." "Dua porsi?" "Iyups," jawab Rindu sembari mengoleskan selai nanas favoritnya. Kemudian dengan di temani segelas susu coklat, dan bincang-bincang hangat antara Ibu dan anak adalah awal pagi yang baik bagi Rindu.
Setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Rindu, sang Mama melepas apron yang melingkar di pinggangnya. Meski sudah berumur hampir kepala empat, Ibu Rindu ini masih terbilang muda dan cantik. Ini adalah salah satu pengaruh dari pekerjaan wanita itu sebagai fashion desaigner.
"Kamu buruan sarapannya!" Peringat Mama Rindu sembari melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Gantian Rindu yang juga melihat jam melingkar di tangan kirinya. "Mama duluan aja. Rindu bisa bareng Anya, kok." "Pulangnya?" "Ama Gavin, Ma." Kemudian Mama Rindu mengecup dahi putrinya penuh sayang. Semenjak suaminya meninggal, hanya Rindu yang bisa membuat semangat hidupnya bangkit. Gadis itu adalah mutiaranya.
"Yaudah, Mama berangkat, ya, Sayang." "Hati-hati, Ma."
Rindu memasukkan kedua kotak bekal ke tas yang biasa ia bawa untuk tempat makan. Setalahnya dengan gesit, Rindu memakai sepatu dan menyambar tas sekolah yang ia letakkan di atas meja dapur. Setelah mengunci pintu rumah dan meletakkan kuncinya di semak-semak tanaman sang Mama, gadis itu berlari ke seberang dan tersenyum lebar kala mendapati Anya dan Kakaknya belum berangkat.
"Anya!" Pekik Rindu kemudian ia tersenyum singkat pada sahabatnya itu dan beralih berjalan ke arah Kakak gadis itu. "Pacar, aku nebeng, ya?" kata Rindu pada Saveri yang memasang wajah bosan.
Saveri melengos diikuti Anya yang geleng-geleng kepala di sisi pintu seberang. Ketika kedua insan itu sudah masuk ke dalam mobil, Rindu yang hendak berjalan mendekati pintu belakang mobil terjengkang ke belakang karena mobil yang melaju tiba-tiba meninggalkannya.
Anya melongokkan kepalanya dari kaca jendela sebelum mobil benar-benar menjauhi sahabatnya itu. "Ketemu di sekolah ya!" teriak Anya dan hanya dibalas Rindu dengan lambaian tangan.
Lagi-lagi ia gagal mendapat tumpangan dari Saveri. Dengan kesal Rindu menendang udara kosong sebelum akhirnya berlari mencari pangkalan ojek yang biasa mangkal di luar kompleks perumahannya.
Rindu berlari menuju lapangan indoor. Koridor sekolah ramai dengan anak-anak yang berkeliaran ke sana ke mari karena jam kosong, mengingat ini masih tahun ajaran baru.
Langkahnya menggema di ruangan luas ini. Rindu berderap mendekati sahabatnya yang duduk di bangku tribun tengah dengan buku di pangkuannya dan pensil di tangan kanannya. Kemudian kepalanya menoleh ke sisi lapangan, ia mendapati sahabatnya yang lain sedang mendribble bola untuk kemudian dilemparkan ke ring. Hap. Masuk.
"Gavin! Sarapannya udah dateng, nih!" teriak Rindu saat sudah sampai di tribun dan menurunkan tas tempat bekalnya di sana. "Duh, suaranya kecilin coba, Rin! Panas ni kuping gue." Anya mengusap sebelah telinga kirinya karena ketika Rindu berteriak tadi, mulut gadis itu berada tepat di sebelahnya. Entah memang disengaja atau tidak, yang jelas suara Rindu bikin kuping mendengung.
Gavin berhenti sejenak dan berlari ke arah dua gadis di tribun. "Akhirnya... rejeki emang nggak kemana." "Nyokap lo nggak masak apa? Tiap hari nyuruh Rindu bawain lo sarapan," sindir Anya dengan wajah cuek kembali berkutat dengan PR Matematika yang belum sempat ia kerjakan. Gavin menatap sinis Anya. "Makanan rumah Rindu itu bikin nagih. Lagian nyokap juga nggak sempet masak kali."
"Eh lo ngerjain apa coba, Nya?" Potong Rindu sebelum percakapan kedua temannya ini berubah menjadi arena perang dingin. "Eh, Matematika, Rin. Lo emang udah?" Kepala Anya menoleh ke arah Rindu. "Lah, emang ada PR?"
Kepala Anya mengangguk. "Habis istirahat dikumpulin." Rindu menabok lengan Anya dengan ganas. "Kok gue nggak tau?" Gavin yang tadi duduk dengan nyaman sedang menikmati sarapannya tersedak, ketika mendengar kalau ada PR Matematika dan harus dikumpulkan sesudah istirahat. "Iya. Kok gue nggak tau?"
Dengan polosnya, Anya menjawab, "Kalian nggak tanya ke gue, sih." "Anya, ih."
Akhirnya dengan kalang kabut, Rindu menggeledah tasnya untuk mencari buku tugas Matematikanya. Sedangkan, Gavin sudah melesat ke kelas untuk mengambil bukunya yang berada di tas.
Kantin waktu jam istirahat sudah semakin sepi, karena rata-rata siswa siswi ke kantin saat pagi tadi jam kosong. Mata Rindu berbinar saat Gavin sudah sampai di meja mereka dengan tiga gelas jus alpukat favorit mereka bersama.
"Ini pesanannya tuan Putri," kata Gavin sembari menurunkan baki tempat tiga gelas jus alpukat ke meja. "Makasih," balas Rindu menerima gelas pesanannya dan segera menyeruputnya menggunakan sedotan. "Lama lo!" dengan sewot Anya menerima gelas jusnya tanpa mengucapkan terimakasih sekalipun ke Gavin.
"Dasar nenek lampir." "Apa lo bilang?" Mata Anya melotot ke arah Gavin ketika laki-laki itu mengatainya. "Emang gue ngomong apa coba?" jawab Gavin dengan wajah polosnya. "Lo ngatain gue nenek lampir." "Masa? Situ ngerasa?" Rindu menggigit sedotan dengan keras mendengar kedua sahabatnya kembali beradu cekcok. Ia menatap ke arah ponselnya dan jarinya menari di sana. Ia membuka aplikasi instagram dan mulai berselancar di sana.
Bola matanya membulat sempurna saat melihat foto seorang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan dengan perempuan itu yang memegang buket bunga Mawar.
"Nya! Nya!" Rindu menepuk-nepuk lengan Anya hingga sang empunya menoleh. Anya berhenti menanggapi setiap ucapan Gavin kemudian beralih ke Rindu. "Iya, iya. Kenapa?" Rindu menunjukkan tampilan instagramnya dan menunggu tanggapan dari sahabatnya itu.
Gavin yang memang keingin tahuannya besar akhirnya menggeser tempat duduknya dan ikut melihat apa yang sedang Rindu tunjukkan ke Anya. "Itu beneran?" Mata Rindu sudah berkaca-kaca. Harap-harap cemas dengan apa yang akan Anya katakan.
Anya mengembuskan napas keras, kemudian mengangguk. "Emang Bang Veri sempat ada niatan ngelamar Kak Karin. Tapi, ya gitu... gue nggak tahu kalau itu emang beneran. Gue kira ya, cuma rencana doang." Rindu menundukkan kepalanya membiarkan setetes air mata mengalir di pipinya.
Sejak ia pindah beberapa tahun lalu hingga sekarang, perasaannya pada Saveri tidak pernah berubah. Hanya saja Saveri terlalu bersikap dingin kepadanya. Menganggap Rindu hanya anak kecil pengganggu di hidup lelaki itu.
Gavin berdecak. "Apaan deh lo, Rin? Masih aja lo nangisin laki-laki kayak gitu?" Anya langsung menabok bahu Gavin dengan keras. "Heh, maksud lo apaan 'laki-laki kayak gitu', hah? Gitu-gitu juga dia Kakak gue." Gavin tak menanggapi. Ia memandang Rindu dengan datar, sebelum kemudian bangkit berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan jus alpukatnya yang sama sekali belum disentuh.
Rindu masih sangat tidak paham dengan situasa yang terjadi di antara persahabatan mereka. Dan Gavin memilih lebih baik Rindu tak usah tahu sama sekali.
*** 17 Agustus 2017
Kisah Cerita Tentang Rindu 2
Rindu turun dari motor Gavin dengan lesu. Ia menyerahkan helm pada sang empunya tanpa ekspresi kemudian berbalik hendak memasuki halaman rumah. "Rin!" Panggil Gavin membuat Rindu berhenti dan menoleh. "Lo nggak ada mau ngucapin apa gitu?"Sembari menunggu reaksi dari gadis di depannya ini, Gavin menelisik wajah Rindu. Kemudian ketika suara mobil menyita perhatiannya, sorot wajah Rindu berubah sendu dan mata gadis itu semakin meredup. Karena penasaran, Gavin menoleh dan mendapati Saveri keluar dari mobil diikuti oleh Anya, juga seorang perempuan yang asing bagi Gavin.
"Makasih, Vin," ucap Rindu sebelum akhirnya melenggang begitu saja memasuki rumah. Gavin akhirnya menoleh menatapi punggung Rindu yang semakin menjauh. Kemudian matanya beralih menatap Saveri yang juga tepat sedang menatap ke arahnya. Tatapan Gavin menajam, sebelum kemudian ia memakai helm dan menstarter motornya untuk melaju pergi.
***
Rindu memunguti kertas yang jatuh dari meja kerja Mamanya. Setelah ia pulang dan berganti baju, Rindu memilih untuk menyusul Mamanya ke tempat kerja. "Makasih, Sayang," ucap Sarah - Mama Rindu, sembari menerima helaian kertas dari Rindu. Rindu tak menyahut. Ia kemudian berjalan ke arah sofa dan duduk di sana dengan membaca majalah fashion yang masih bekerja sama dengan perusahaan fashion Mamanya.
Matanya tersenyum hangat ketika melihat wajah Saveri terpampang di salah satu halaman di sana. "Ini jaman kapan, Ma? Rindu kok baru lihat?" Dengan masih berkutat dengan berbagai macam berkas, Sarah menjawab, "Baru aja, kok."
"Ih, kok nggak kasih tahu Rindu kalau Saveri jadi modelnya? Kan Rindu pengin lihat waktu Saveri ambil gambar." Sarah tersenyum miring dan tak menyahuti Rindu. Ketika pintu ruangannya terbuka dan muncul sosok laki-laki dengan kemeja flanel merah dan jeans biru usang, senyum Sarah mengembang. "Selamat sore, Tante," sapa laki-laki tersebut membuat Rindu langsung menegakkan tubuhnya.
"Sore juga, Veri. Ah, kamu datang tepat waktu kali ini." Kemudian tatapan Sarah beralih ke arah putrinya yang mematung di tempat. Senyum penuh kemenangan mengembang di kedua sudut bibir Sarah.
"Rindu, kamu antar Saveri ke ruang ganti, ya? Trus bantu dia milih baju buat photoshoot juga." Rindu langsung menoleh penuh keterkejutan. Ketika Saveri sudah keluar ruangan, Rindu tidak bisa menahan untuk tidak menjerit. "Mama, ih." Rindu bingung harus berekspresi seperti apa. Yang ia lakukan hanya menahan diri agar tidak berlari menerjang Saveri yang mungkin sekarang tinggal beberapa langkah lagi ke ruang ganti.
***
Beberapa pakaian yang akan digunakan Saveri baru saja Rindu bawa masuk ke ruang ganti. Totalnya ada sekitar delapan pakaian untuk lima kali ambil gambar. Dan Rindu di sini bertugas membantu Saveri memilih pakaian mana saja yang pantas untuknya. "Ini, yang navy bagus. Dicoba, gih!" Rindu menyodorkan kemeja polos warna navy kehadapan Saveri yang sejak tadi berwajah datar.
Bukannya menerima usulan Rindu, Saveri malah melengos dan mengambil warna baju lain. Karena tidak terima Saveri mengambil warna lain, Rindu langsung menyerobotnya. "Oren nggak pantes buat kamu. Bagus juga ini!" Masih dengan keukeuh Rindu menyodorkan kemeja warna navy.
"Apaan sih lo? Pilihan lo kampungan, tahu nggak?" Jleb. Kampungan? Kampungan bagaimana? Navy itu warnanya netral. Lagipula kalau lelaki pakai baju warna navy malah terlihat lebih keren. Itu pendapat Rindu. "Ih, aku kasih tahu, nih, ya. Cowok itu malah nggak pantes pakai baju warna oren. Malah kelihatan kayak jeruk gitu. Kamu mau, disamaim kayak jeruk? Asem."
Sebelah alis Saveri tertarik ke atas. Dia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh gadis di depannya ini. Hanya masalah warna baju bisa merembet ke warna buah benar-benar membuat Saveri mengira Rindu salah makan sore ini. Saveri berdecak dan langsung merebut kemeja yang Rindu sembunyikan di balik punggung gadis itu. "Ngomong apaan sih lo? Lagian tahu apa lo soal warna yang gue suka?"
Rindu tak mau melepas kemeja oranye yang kini malah rasanya ingin sekali ia menyobeknya. "Aku tahu. Kamu suka biru, kan? Sprei sama cat kamar kamu aja warna biru. Masa sama navy aja nggak mau? Kamu kali yang kampungan milihnya warna oren! Huh."
Cerewet sekali gadis di depannya ini. Saveri sampai geleng kepala mendengar gadis ini tak berhenti mengelak. "Bukan urusan lo!" Dengan kasar, Saveri menarik kemeja oren tersebut sampai akhirnya menimbulkan bunyi 'krek'. Kedua manusia yang masih saling memegang sisi kemeja yang berbeda, langsung melepaskan kemeja tersebut secara spontan.
"Bukan aku!" Rindu langsung mengangkat kedua tangannya di udara dan pura-pura memasang wajah polos. Saveri menggeram dan langsung merebut kemeja navy yang masih ada di tangan Rindu. Sedangkan Rindu sendiri dalam hati merutuki perbuatannya yang bisa-bisanya merusak pakaian untuk photoshoot tersebut. Takut-takut, Rindu mendongak dan melihat wajah Saveri sudah merah padam akibat murka.
"Lihat! Apa yang udah lo lakui Itu baju bukan milik nyokap lo yang bisa seenaknya lo rusak! Lo pikir ngebuat baju kayak gitu gratis? Lo belum bisa nyari duit aja udah berani ngerusak barang orang lain. Mau lo apa sih? Jauh-jauh deh lo dari hidup gue!" Sambil lalu Saveri berbalik dan keluar ruangan meninggalkan Rindu yang tergugu di tempat.
Sebenarnya Rindu juga tahu bahwa dirinya bersalah, tapi Saveri seharusnya sadar diri juga. Hal ini terjadi juga karena dirinya yang tak nurut apa kata Rindu, kan? Seharusnya Saveri tidak usah marah seperti itu. Berlagak bahwa semuanya salah Rindu. Membuat skenario bahwa Rindu seenaknya merusak properti perusahaan. Rindu tidak tahu apa-apa. Dia hanya tidak sengaja menarik secara kuat karena Saveri tiba-tiba merebut pakaian warna jeruk itu dari tangan Rindu.
Apalagi perkataan Saveri tadi membuat Rindu benar-benar kecewa dengan lelaki itu. Sekalipun, Saveri tidak pernah berkata sedikit saja perkataan manis kepada Rindu. Lelaki itu selalu menganggap Rindu hama yang harus dibasmi, atau semacam bakteri yang harus dienyahkan dari dunia. Dengan pipi digembungkan menahan sesak yang menyeruak di dadanya, Rindu memungut kemeja warna jeruk tersebut dari lantai dan keluar ruangan.
***
Rindu kena omel Mamanya. Memang meskipun beberapa dari karyawan memaklumi, tetap saja Sarah menyalahkan ini kepada Rindu yang ceroboh. Sekarang gadis itu berada di balkon kamarnya setelah memilih pulang lebih dahulu karena malu kena omel Mamanya di depan karyawan lain. Ia memandangi langit yang mulai menggelap dengan kerlipan bintang di atas sana.
Ponsel yang berada di meja belajarnya berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. "Halo, Rindu. Lo diman?" "Hm, Vin? Gue di rumah kenapa?" "Gue ada ayam goreng krispi, nih. Lo mau? Gue bawain ke rumah lo kalau lo mau. Sekalian bantuin gue ngerjain kliping."
Rindu selalu suka jenis makanan apapun berbau ayam. Apalagi ayam goreng krispi. Beuh. Enaknya nggak nahan. Dengan semangat Rindu menjawab, "Iya, iya. Gue mau, Gavin. Gue mau! Lo emang paling ngertiin gue. Okey. Gue tunggu lo, ya." Rindu tak tahu saja, di seberang sana mati-matian Gavin menahan diri agar tidak meloncat kegirangan karena perkataan Rindu barusan.
***
Sekarang Rindu sudah berada di teras rumahnya dengan Gavin yang membawa ayam goreng krispi seperti katanya tadi, dan jangan lupakan tugas kliping yang Gavin janjikan juga tadi.
"Nih, gue bawain dua porsi." Gavin menyodorkan dua kotak berisi ayam krispi. Bau harum khas ayam langsung membuat perut Rindu menggerung minta jatah. "Lo emang sahabat terbaik gue, Vin." Senyum mengembang di bibir Rindu. Langsung saja tangannya menyerobot salah satu kotak tersebut dan melahap isinya.
"Tugas gue?" Tanya Gavin ketika dilihatnya Rindu mulai sibuk sendiri melahap makanannya dan melupakan kesepakatan mereka sebelumnya. Kunyahan di bibir Rindu langsung terhenti. "Besok, dah, besok. Sekarang udah malem. Mending lo pulang. Dan makasih buat makanannya, ya." "Gue lo usir? Tega lo ya? Setelah gue baik-baik bawain ayam krispi, lo malah ngusir gue? Apa yang lo lakuin ke gue itu, JAHAT, Rin."
Rindu ngakak seketika. Bahunya naik turun karena ritme tertawanya melihat ekspresi Gavin yang menurutnya lebay. "Lo apaan dah? Udah sono pulang aja. Biasanya juga lo gue giniin, kan?" Gavin langsung bangkit berdiri dan merubah ekspresi yang sebelumnya terlihat nelangsa menjadi senyum hangat yang hanya ia tunjukkan kepada orang-orang berarti di hidupnya. "Iya, dah, iya. Ya udah gue pulang. Jangan kemaleman tidurnya. Jangan kebanyakan makan ayam juga. Nggak baik buat gue, karena ngabisin duit buat beliin lo ayam mulu."
Rindu terkikik dan melambai melihat punggung Gavin yang menjauhi teras rumahnya. Ketika motor tersebut telah melesat pergi, berulah mobil sedan yang sangat ia kenali memasuki perkarangan rumah di depannya. Melihat masih ada satu kotak ayam krispi yang masih utuh, Rindu langsung meraihnya tanpa basa-basi dan melesat menuju rumah depannya.
*** 29 September 2017
Kisah Cerita Tentang Rindu 3
"Ini buat kamu." Rindu langsung menyodorkan kantung plastik dengan label ayam krispi yang tadi dibawakan Gavin, kepada Saveri yang baru saja keluar dari mobil – bahkan kakinya pun belum sepenuhnya menginjak tanah. Saveri menatap tanpa ekspresi kantung plastik tersebut dan melengos begitu saja, melangkah menuju pintu rumah. "Gue nggak butuh," jawab Saveri tanpa mau peduli dengan perasaan Rindu karena perkataannya.Rindu langsung menepis rasa nyeri di dadanya dan kembali tersenyum normal. "Sadis amat, Mas Bro. Aku kasih tahu ya, kebanyakan ngomong kasar sama cewek itu nggak baik. Bisa-bisa, nanti kamu dapet karma, tahu. Ih, kan serem." Rindu terus menyerocos sampai langkahnya terhenti di depan pintu kamar Saveri.
Saveri yang tadi hanya membiarkan Rindu seenak jidat mengikutinya memasuki rumah, saat sampai pada kamarnya, Saveri langsung menutup pintu dengan kasar agar gadis pengganggu dengan kantung plastik berlogo ayam krispi itu tidak mengganggu jam istirahat malamnya.
"Nggak usah sok tahu. Mending sana, lo pulang!" ujar Saveri dari dalam kamarnya. Rindu mengembuskan napas dengan kasar dan berbalik untuk kembali pulang ke rumahnya, sebelum akhirnya ia mendapati Anya sedang menatapnya dengan mata jahil. "Wow. Ya, gini... ke rumah gue itu bawa makanan. Jangan lo nya yang tiap dari rumah gue gondol makanan gue pulang."
Rindu langsung menyembunyikan kantung plastik ayam krispinya ke balik punggung agar jauh dari jangkauan tangan Anya dan perut gadis itu yang kelaparan. "Dih, ini ayam punya gue. Udah, ah. Gue mau pulang." Belum sempat Rindu melangkah, Anya terlebih dulu mencekal tangannya. "Ih, jangan pulang dulu dong, Rin. Tumben banget nggak mau lama-lama di rumah gue."
Rindu memutar bola matanya dan berdecak. Perlahan Anya melepaskan cekalannya pada tangan Rindu. "Gini deh. Kita ke kamar gue aja yuk!" Rindu pun menurut saja saat Anya membawanya memasuki kamar gadis itu. Rindu sudah tak pernah merasa canggung bila berada di rumah sahabatnya ini. Bahkan ia sendiri sudah menganggap rumah Anya sebagai rumah kedua bagi Rindu.
"Ah, akhirnya..." langsung saja tanpa basa-basi, Rindu merebahkan tubuhnya pada kasur empuk dan memenuhi seluruh permukaan kasur tersebut. "Eh, buset. Sprei Spanyol gue jadi lecek, Dasar Oneng!" Seru Anya sambil melotot dan menabok bahu Rindu agar menyingkir dari kasurnya. Tapi sekuat apapun Anya menyuruh Rindu agar enyah, gadis itu malah semakin membenamkan kepalanya pada bantal hello kitty milik Anya dan bergumam tidak jelas di sana.
"Ngomong apaan sih lo? Lo kumur? Atau gumoh?" Rindu makin bergumam tidak jelas di sana. Dan dirasa tak ada gunanya juga Anya mengeluarkan tenaga untuk menyingkirkan tubuh Rindu, Anya lebih memilih duduk di ujung kasur dan mengambil kantung plastik milik Rindu yang tadi dengan seenaknya saja, gadis itu letakkan di karpet kamar Anya.
"Ini gue makan ya?" Rindu mengubah posisisinya menjadi telentang memenuhi ranjang milik Anya. Ia hanya menatap langit-langit kamar Anya yang dipenuhi bintang-bintang hasil karya Saveri. "Abang lo itu dingin ya, Nya?" Anya yang sibuk menggigiti ayam krispi, menoleh. "Dingin? Ke lo doang itu mah." Rindu mengubah posisinya menjadi tengkurap dan menatap Anya tanpa berkedip.
"Iya. Emang salah gue apaan coba, Nya? Padahal juga gue biasa aja gitu." Anya langsung berhenti mengunyah dan menelan makanan yang belum sepenuhnya halus untuk hanya sekedar menanggapi perkataan Rindu. "Biasa dengkulmu, Rin. Mana ada biasa, kalau lo tiap minggu gondol barangnya Abang, terus seenak jidat bocan di kasurnya. Abang gue ya risih lah ama sikap lo yang begitu. Lo ngotak dikit ngapa!"
Rindu melongo di tempat. Melihat sahabatnya yang baru saja berkata demikian terhadapnya dan kemudian bersikap biasa-biasa saja membuat tangan Rindu getol untuk menabok mulut Anya yang tajam setajam silet pencukur jenggot Abah. "Lo ngomong nggak pakek mikir, Nya! Sahabat lo, nih, yang lo ngotak-ngotakin!" Anya hanya nyengir dan lanjut memakan ayam krispi tanpa rasa bersalah.
Rindu merubah posisinya lagi menjadi telentang. Matanya terpejam. "Abang lo beneran jadi tunangan sama pacarnya?" Tanya Rindu dengan intonasi putus asa. Anya memang sudah biasa menggoda Rindu, tapi ia juga tidak tega sahabatnya itu terpuruk karena putus cinta. "Gue bukannya nggak ngedukung lo buat sama Abang gue, nih, ya, Rin. Masalahnya Kak Karin juga menurut gue udah cocok banget sama Bang Veri. Dia cantik, baik, sayang sama gue sama Mama, sama keluarga. Bahkan gue nggak nemuin cacatnya dia waktu jalan ama Bang Veri..."
"Bahkan lo sendiri udah setuju Abang lo sama cewek lain. Gue mah apa ya, Nya? Cuma seonggok upil doang, ye, kan?" Anya mengembuskan napas kasar, kemudian meletakkan kotak ayam krispi ke sisi ranjang kosong disebelahnya. Sekarang ia memperbaiki posisi duduknya dan memandang Rindu lekat. "Gue bukannya nggak pro ke lo. Tapi, ya, gue memposisikan diri sebagai adik yang pengen lihat Abangnya bahagia. Dan, bahagianya Bang Saveri ya sama Kak Karin itu. Gue saranin ya, Rin, mending daripada lo ngarepin kuda bertelur, mending lo buruan move on. Gue bakal bantu, deh."
Rindu hanya melirik dari ekor matanya dan berbaring memunggungi Anya. Rindu butuh berpikir.
***
"Lo punya pulpen, nggak?" Tanya Gavin yang duduk tepat di belakang bangku Rindu. Sekarang adalah jam pelajaran Biologi, dimana semua siswa-siswi diharuskan merangkum bab pertumbuhan dan perkembangan yang ada di buku paket. Minimal harus sebanyak lima lembar.
Gavin pikir itu sudah bukan rangkumam, melainkan salinan. Dia kesal. Karena tugas ini, ia kehabisan pulpen Avangersnya yang hanya tinggal satu. Mau beli yang isi ulang pun, yang jualnya ada di luar sekolah.
Rindu yang konsentrasinya terpecah mendesis kesal. "Apaan sih lo? Ganggu tahu, nggak?!" "Galak amat. Gue cuma mau pinjem pulpen. Jangan pelit-pelit sama sahabat sendiri. Entar–" "Bawel lo!" Tanpa membiarkan Gavin meneruskan pekataannya Rindu segera memotong dan menyodorkan pulpen ke meja Gavin dan sesegera mungkin berbalik.
Gavin yang berada di belakang cengengsan saja. Berhasil mendapat pinjaman pulpen sekaligus berhasil membuat Rindu jengkel cukup membuatnya senang pagi ini. Rindu masih sibuk merangkum ketika Anya yang duduk di sebalahnya tiba-tiba merintih kesakitan. Rindu menoleh dan mendapati Anya sedang menekan perutnya. "Lo kenapa?"
Melihat bulir keringat mengucur dari pelipis Anya, Rindu tahu, sahabatnya sedang tidak baik-baik saja. "Yuk, gue anter ke UKS." Namun Anya tak kunjung berdiri. Nyeri di perutnya membuat Anya melupakan bagaimana cara berdiri. Rindu yang di sebelahnya kalang kabut melihat Anya semakin pucat dan kesakitan. Ia menginterupsi pada guru yang mengajar untuk ijin mengantar Anya ke UKS, dan diijinkan. Masalahnya, Anya yang kesusahan jalan ke UKS dengan kondisi perut melilit.
"Udah, biar gue aja." Gavin berdiri dan membantu Rindu mengantar Anya ke UKS.
Tanpa tanggung-tanggung, Gavin menggendong Anya dan segera membawanya ke UKS, diikuti Rindu di belakangnya. Rindu merogoh saku roknya dan mencari nama Saveri. Tanpa basa-basi, segera saja ia menghubungi lelaki itu. Pada detik ke sepuluh, barulah panggilan tersebut diangkat. "Hm." Sapa Saveri malas-malasan. "Kak, bisa ke sekolah sekarang? Anya sakit kak. Kayaknya gara-gara PMS perutnya melilit gitu." Adu Rindu.
Belum sempat mendapat jawaban dari seberang, sambungan terputus. Ia yakin sekarang Saveri sedang khawatir. Ia menatap ponselnya yang sekarang gelap. Mendapat rasa khawatir dari seorang Saveri sungguh momen yang berharga bagi Rindu. Dan Rindu iri terhadap Anya.
Kapan lo bisa khawatir ke gue, coba?
***
Rindu dan Gavin bersandar pada dinding UKS setelah Anya di bawa pulang oleh Saveri. Ketika lelaki itu tiba, sekalipun matanya tak memperhatikan Rindu. Ia tak acuh seperti biasanya. Menganggap Rindu tak pernah ada. "Balik, yuk." Gavin menegakkan tubuhnya dan hendak menggandeng tangan Rindu. Namun, secara reflek, Rindu mengangkat tangannya dan menggaruk pipinya yang tak gatal.
"Lo duluan aja. Gue mau ke toilet bentar." Rindu melangkah keluar UKS dan berjalan tanpa arah. Gavin menatap nanar punggung Rindu yang lunglai. Ia mengembuskan napas kasar dan segera mengikuti langkah gadis itu dari belakang. Akan selalu ada gue di belakang lo. Gue cuma butuh waktu untuk buat lo sadar.
13 Oktober 2017
Bagaimana perasaannya setelah membaca Kumpulan Kisah Cerita Tentang Rindu diatas? Mudah-mudahan dengan membaca Kumpulan Kisah Cerita Tentang Rindu ini, bisa mewakili perasaan kita semua. Sebab terkadang, melalui kata katalah kita mampu melukiskan perasaan kita, sehingga bisa sampai secara jelas kepada sesuatu yang kita inginkan. Jangan lupa datang kembali untuk menyimak Kisah Cerita Tentang Rindu lainnya pada waktu yang akan datang. Salam santun dan semoga bermanfaat.
Baca juga lanjutan kisahnya: Kumpulan Cerita Hati yang Rindu