Hukum Shalat Tarawih Terlalu Cepat
Santrie Salafie 19.5.20
Hukum Shalat Tarawih Terburu Buru
Hukum shalat tarawih super cepat fatwa Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang dirangkum dalam 30 Fatwa Seputar Ramadhan oleh Ustadz Abdul Somad, Lc., M.A., Ph.D. Berikut penjelasan lengkapnya.
Pertanyaan:
Apa hukum shalat tarawih ngebut?
Jawaban:
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dinyatakan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.
Allah Swt mensyariatkan puasa di siang hari bulan Ramadhan dan lewat lidah nabi-Nya Ia syariatkan Qiyamullail di malam bulan Ramadhan. Qiyamullail ini dijadikan sebagai penyebab kesucian dari dosa dan kesalahan. Akan tetapi Qiyamullail yang dapat mengampuni dosa dan membersihkan dari noda adalah yang dilaksanakan seorang muslim dengan sempurna syarat-syarat, rukun-rukum, adab dan batasannya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa thuma’ninah adalah salah satu rukum dari rukun shalat, sama seperti membaca al-Fatihah, ruku’ dan sujud.
Hukum shalat terlalu cepat
Ketika seseorang melaksanakan shalat dengan cara yang tidak baik di hadapan Rasulullah Saw, tidak melakukan thuma’ninah, Rasulullah Saw berkata kepadanya,
“Kembalilah, shalatlah kembali, karena sesungguhnya engkau belum shalat”.
Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bagaimana shalat yang diterima Allah Swt seraya berkata:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُ تَعَالَى عَنْهُ, أَنّ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصّلاَةِ فَأَسْبِغ الوُضُوءَ, ثُمّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبّرْ, ثُمّ اقْرَأْ مَا تَيَسّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ, ثُمّ ارْكَعْ حَتّى تَطْمَئِنّ رَاكِعاً, ثُمّ ارْفَعْ حَتّى تَعْتَدِلَ قَائِماً, ثُمّ اسْجُدْ حَتّى تَطْمَئِنّ سَاجِداً, ثُمّ ارْفَعْ حَتّى تَطْمَئِنّ جَالِساً, ثُمّ اسْجُدْ حَتّى تَطْمَئِنّ سَاجِداً, ثُمّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلّهَا أَخْرَجَهُ السّبْعَةُ, وَاللّفْظُ لِلْبُخَارِيّ وَلاِبْنِ مَاجَهْ بِإِسْنَادِ مُسْلمٍ: حَتّى تَطْمَئِنّ قَآئِماً
“Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw telah be rsabda: Apabila engkau akan berdiri shalat , maka sempurna kanlah wudhu` , kemudian meng hadaplah ke kiblat, lalu takbir kemudian bacalah apa yang mudah bagi mu dari Qur`an , kemudian ruku`lah hingga engkau tetap di dalam ruku`, kemu dian bangkitlah hingga lurus engkau berdiri, kemudian sujud lah hingga engkau tetap di dalam sujud , kemudian bangkitlah hingga engkau tetap di dalam duduk , kemudian sujudlah hingga engkau tetap di dalam sujud , lalu kerjakanlah yang demikian dalam shalatmu semuanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan para penyusun kitab as-Sunan, dari hadits Abu Hurairah ra).
Thuma’ninah dalam semua rukun adalah syarat yang mesti ada. Batasan thuma’ninah yang disyaratkan, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menetapkan kadar thuma’ninah minimal satu kali Tasbih, misalnya seperti mengucapkan kalimat:
سُبْحَانَ رَبِّىَ اْلاَعْلٰى
“Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”.
Sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiah mensyaratkan kadar Thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud kira-kira tiga kali Tasbih. Dalam hadits disebutkan bahwa membaca Tasbih tiga kali dan itu adalah batas minimal, oleh sebab itu mesti ada thuma’ninah kira-kira tiga kali Tasbih. Allah Swt berfirman dalam Qs. Al-Mu’minun : 1 – 2:
قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَۙ ١ الَّذِيۡنَ هُمۡ فِىۡ صَلَاتِهِمۡ خَاشِعُوۡنَ ٢
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya”. (Qs. Al-Mu’minun : 1 – 2).
Khusyu’ ada dua jenis:
- Khusyu’ tubuh
- Khusyu’ hati
Khusyu’ tubuh adalah tenangnya tubuh dan tidak melakukan perbuatan sia-sia, tidak menoleh seperti menolehnya srigala. Tidak ruku’ dan sujud seperti patokan ayam. Akan tetapi melaksanakan shalat dengan rukun-rukun dan batasan-batasan sebagaimana yang disyariatkan Allah Swt. Oleh sebab itu mesti ada khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.
Makna khusyu’ hati adalah menghadirkan keagungan Allah Swt, yaitu dengan merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca, mengingat akhirat, mengingat sedang berada di hadapan Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Ketika seorang hamba mengucapkan:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (Qs. Al-Fatihah : 2).
Allah Swt menjawab:
حَمِدَنِى عَبْدِى
“Hamba-Ku memuji-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Fatihah [2]: 3).
Allah Swt menjawab:
أَّثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى
“Hamba-Ku memuji-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Yang menguasai di hari Pembalasan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 4).
Allah Swt menjawab:
مَجَّدَنِى عَبْدِى
“Hamba-Ku memuliakan-Ku”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 5).
Allah Swt menjawab:
هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ
“Ini antara Aku dan hamba-Ku. Hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”.
Ketika hamba itu mengucapkan:
اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ
صِرَاطَ الَّذِيۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ ۙ غَيۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا الضَّآلِّيۡنَ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Qs. Al-Fatihah : 6 – 7).
Allah Swt menjawab:
هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ
“Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”. (HR. Muslim).
Allah Swt tidak terasing dari orang yang sedang melaksanakan shalat, Allah Swt memperkenankan permohonannya, oleh sebab itu mesti ada interaksi antara orang yang shalat dengan Allah Swt, menghadirkan hati dalam setiap gerakan shalat, dalam setiap waktu shalat dan dalam setiap rukun shalat.
Orang-orang yang shalat dan hanya memikirkan ingin segera selesai melaksanakan shalat dan melemparkan shalat seakan-akan shalat itu beban berat di pundak mereka, bukanlah itu shalat yang diharapkan.
Banyak orang yang melaksanakan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dan dua puluh tiga rakaat dalam hitungan beberapa menit saja. Yang mereka inginkan hanyalah cepat menyelesaikan shalat dalam waktu sesingkat mungkin. Tidak sempurna ruku’, sujud dan khusyu’nya.
Ini sama seperti yang disebutkan dalam hadits:
تَعْرُجُ إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ سَوْدَاء مُظْلِمَةٌ، تَقُوْلُ لِصَاحِبِهَا : ضَيَّعَكَ اللهُ كَمَا ضَيَّعْتَنِي.
“Shalat itu naik ke langit dalam keadaan hitam pekat. Ia berkata kepada pemiliknya, “Engkau disia-siakan Allah Swt sebagaimana engkau telah menyia-nyiakanku”. Shalat yang khusyu’ dan tenang akan naik ke langit dalam keadaan putih bercahaya, ia akan berkata kepada pemiliknya, “Semoga Allah Swt menjagamu sebagaimana engkau telah menjagaku”.
Nasihat saya kepada para imam dan mereka yang melaksanakan shalat dengan jumlah rakaat yang banyak akan tetapi tidak dengan cara yang benar, tidak khusyu’, tidak menghadirkan hati dan tidak dengan ketenangan tubuh, sebaiknya mereka melaksanakan delapan rakaat dengan tenang dan khusyu’, itu lebih baik daripada dua puluh rakaat.
Yang dilihat bukanlah kuantitas dan banyaknya. Akan tetapi yang dilihat adalah cara dan sifatnya. Yang dinilai adalah shalat itu sendiri, apakah shalat yang dilaksanakan oleh orang-orang yang khusyu’ atau shalat orang yang tergesa-gesa. Kita memohon kepada Allah Swt semoga menjadikan kita tergolong orang-orang beriman yang khusyu’.
Rujukan:
- Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz. I (Cet. VIII; Kuwait: Dar al-Qalam, 1420H/2000M), hal. 321.
Penutup: semoga dengan membaca artikel ini, bisa menambah wawasan kita semua tentang Hukum Shalat Tarawih Terlalu Cepat, dan mudah-mudahan bisa selalu istiqamah dalam kebaikan. Amin. Salam santun dan semoga bermanfaat.
Baca juga: Hukum Dzikir Diantara Shalat Tarawih Fatwa Syaikh Athiyyah Shaqar