Skip to main content

Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib Memindahkan Ibu Kota Negara

Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib Memindahkan Ibu Kota Negara by Santrie Salafie

Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib Memindahkan Ibu Kota Negara - Bagaimana kabar hari ini sahabat Santrie Salafie? mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah swt. Amin.. Pada kesempatan kali ini Santrie Salafie akan berbagi tentang Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib Memindahkan Ibu Kota Negara.

Selengkapnya, langsung saja yuk scroll ke bawah untuk menyimak lebih lanjut tentang Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib Memindahkan Ibu Kota Negara.

Khalifah Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib membuat keputusan besar. Khalifah keempat ini memindahkan ibu kota negeri dari Madinah ke Kufah. Aksi ini luar biasa berani sebab tidak pernah dilakukan tadinya oleh Rasulullah SAW & ketiga Khalifah awal, ialah Abu Bakar, Umar bin Khattab, & Utsman bin Affan. Ini metode Imam Ali melaksanakan pemisahan urusan politik & agama. Apa yang melatarbelakangi keputusan itu? Ayo kita ikuti penjelasannya.

Khalifah Utsman terbunuh pada 17 Juni tahun 656. Khalifah berumur 79 tahun ini berkuasa sepanjang 12 tahun. Kabarnya 6 tahun pertama dilalui pemerintahannya dengan gemilang. Tetapi, sebab tidak ada pembatasan masa jabatan, Khalifah Utsman terus berkuasa, walaupun umurnya telah sepuh & beliau tidak lagi seluruhnya bisa mengendalikan negeri yang telah meluas melewati jazirah Arab.

Pendek cerita, ketidakpuasan meletus & pemberontak membunuh Khalifah di rumahnya dikala beliau tengah membaca Al- Qur’ an.

Pemberontak dari Mesir menguasai Madinah sepanjang 5 hari. Hingga hari ketiga, jenazah Khalifah Utsman tidak dapat dikuburkan. Kesimpulannya, jasad beliau sukses dikuburkan di tempat yang tidak biasa, bukan di dekat kuburan Nabi & 2 khalifah sebelumnya. Imam Ali kemudian dibai’ at sebagai Khalifah keempat pada 24 Juni 656–hari ketujuh sesudah wafatnya Utsman, walaupun Imam Ali tadinya menolak dipilih.

Tetapi, kemudian timbul suara- suara yang menggugat pemilihan Imam Ali sebab hanya sedikit sahabat besar yang tersisa di Madinah. Meluasnya kekuasaan Islam membuat para sahabat menyebar ke berbagai daerah, termasuk juga Mu’ awiyah yang jadi Gubernur di Damaskus. Mereka merasa suara mereka tidak didengar & tidak terwakili dalam pemilihan Imam Ali sebagai khalifah.

2 sahabat Nabi, Thalhah & Zubair, bergerak ke Mekkah. Istri Nabi, Siti Aisyah, tengah melaksanakan umrah di Mekkah pada saat Utsman terbunuh. Mendengar Imam Ali yang terpilih sebagai Khalifah, Siti Aisyah memutuskan bertahan tinggal di Mekkah serta bersama- sama penduduk Mekkah memohon Khalifah Ali bin Abi Thalib mengadili para pembunuh Khalifah Utsman.

Khalifah Ali meminta umat buat cooling down terlebih dulu. Keengganan Imam Ali memenuhi tuntutan itu membuat beliau dituduh ikut serta di balik pemberontakan yang menyebabkan wafatnya Utsman. Setelah itu Thalhah, Zubair, & Siti Aisyah bergerak ke Basrah bersama pasukannya untuk memobilisasi massa melawan Khalifah Ali.

Imam Ali meminta penduduk Madinah bersiap perang. Mereka tidak lekas merespons permintaan Imam Ali. Perlu waktu buat Ali mengumpulkan sukarelawan bergerak ke Basrah. Pendek cerita, terjadilah peperangan antara menantu Nabi, Khalifah Ali bin Abi Thalib, & istri Nabi, Siti Aisyah. Pasukan Ali berjumlah 20 ribu & pasukan Siti Aisyah berjumlah 30 ribu.

Dikabarkan tidak kurang dari 18 ribu umat Islam dari kedua belah pihak terbunuh dalam perang saudara ini, tercantum Thalhah & Zubair, serta 3. 000 orang yang lain terluka.

Selepas perang yang dimenangkan Khalifah Ali, Siti Aisyah diantar kembali ke Madinah dengan penghormatan & pengawalan lengkap. Tetapi, pilihan buat Imam Ali hendak ke mana sekarang?

Kembali ke Madinah pada saat suasana masih tidak kondusif mengingat pendukung Utsman masih membara & istri Nabi Siti Aisyah yang baru saja dikalahkan dalam pertempuran juga akan menetap di Madinah. Pasti tidak tenteram Khalifah Ali kembali ke Madinah.

Bagaimana jika ke Damaskus? Tidak mungkin! Mu’ awiyah berkuasa di sana & tengah mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Khalifah Ali. Atau ke Mekkah saja? Tidak mungkin. Siti Aisyah berhasil mengawali perlawannya justru dari Mekkah dengan sokongan 3000 sukarelawan & dorongan Gubernur Mekkah.

Bagaimana jika ke Basrah? Walaupun Khalifah Ali menang perang, tetapi saat sebelum beliau tiba di Basrah, Thalhah, Zubair, serta Siti Aisyah sudah lebih dahulu meraih simpati & support penduduk Basrah. Basrah & Mekkah bukan pilihan bijak.

Maka, Imam Ali memutuskan untuk menetap di Kufah & sekalian memindahkan ibu kota negeri dari Madinah ke Kufah. Selain latar belakang keadaan sosial politik di atas, tindakan Imam Ali ini luar biasa dampaknya. Beliau belajar dari masuknya pemberontak ke Ibu Kota Madinah yang sudah mengotori kesucian kota Madinah.

Politik kekuasaan di kota Nabi yang suci sangat tidak terbayangkan. Pemindahan ibu kota dari kota suci Nabi ke daerah yang lumayan jauh, ialah Kufah( Irak saat ini), membuat simbol agama( Madinah) dipisahkan dengan permasalahan politik. Secara tidak langsung, Imam Ali sudah berupaya menarik batasan antara agama & politik.

Imam Ali juga tidak mengambil kesempatan memindahkan ibu kota ke Mekkah, sebab jika terjadi penyerangan maka Ka’ bah jadi taruhannya. Terbukti nanti pada masa Dinasti Umayyah disaat Abdullah bin Zubair memisahkan diri dari Dinasti Umayyah & menjadikan Makkah sebagai pusat pergerakannya. Keponakan Siti Aisyah ini bukan saja terbunuh disekitar Ka’ bah, akan tetapi kota Makkah diserbu panah berapi & diblokade 6 bulan lamanya oleh pasukan al- Hajjaj ibnu Yusuf.

Ironisnya, bukan saja banyak penduduk Mekkah & jamaah haji yang terbunuh, tetapi Ka’ bah juga pernah dibakar akibat serangan panah api. Inilah dampaknya jika politik kekuasaan dilakukan di kota suci Mekkah. Jadi, sudah sangat tepat sekali kalau Khalifah Ali memindahkan ibu kota ke Kuffah.

4 bulan setelah itu perang saudara kedua pecah. Peperangan antara pasukan Gubernur Mu’ awiyah dari Damaskus & pasukan Khalifah Ali dari Kufah berlangsung di wilayah Shiffin. Perang saudara berlangsung, akan tetapi 2 kota suci Mekkah & Madinah aman. Sekali lagi, pemindahan ibu kota ialah upaya melindungi supaya kesucian Ka’ bah & Masjid Nabawi supaya tidak tercemar oleh pertarungan kekuasaan.
Tabik, Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand (Rujukan: NU Online).

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari artikel Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib Memindahkan Ibu Kota Negara diatas adalah:
  • Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib Memindahkan Ibu Kota Negara diatas bisa kita jadikan sebagai bahan rujukan mengenai sejarah-sejarah islam yang telah lampau. Selain untuk bahan rujukan, tujuan utama Admin memberikan postingan ini adalah untuk menumbuhkan dan mengobati rasa haus kita semua yang selalu dirundung kerinduan kepada Rasulullah dan Para Shahabat-Shahabatnya. (Masih adakah setitik rindu dihati kita kepada Rasulullah dan Para Shahabatnya?)
Semoga dengan membaca artikel Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib Memindahkan Ibu Kota Negara ini, bisa menambah wawasan kita semua tentang Sirah Nabawiyah dan mudah-mudahan bisa selalu istiqamah dalam kebaikan. Amin. Salam santun dan semoga bermanfaat.

Baca juga: Mengapa Rasulullah Berasal dari Arab?

Tambahkan aplikasi Santrie Salafie di smartphone tanpa install

  1. Buka SantrieSalafie.com dengan browser Chrome di smartphone
  2. Klik ikon 3 titik di browser
  3. Pilih "Tambahkan ke layar utama"
  4. Selanjutnya klik aplikasi Santrie Salafie dari layar utama smartphone Anda untuk menggunakannya.

Atau, ikuti Santrie Salafie di Google News dengan klik icon untuk mulai mengikuti dan mendapatkan pengalaman membaca lebih mudah.

Comment Policy: Silakan baca Kebijakan Komentar kami sebelum berkomentar.
Buka Komentar
Tutup Komentar
-->