Skip to main content

Nyai Undang dan Kuta Bataguh | Cerita Leluhur Dayak tentang Kota Bataguh, Kapuas, Kalimantan Tengah

Nyai Undang dan Kuta Bataguh | Cerita Leluhur Dayak tentang Kota Bataguh, Kapuas, Kalimantan Tengah by Santrie Salafie

Nyai Undang dan Kuta Bataguh | Cerita Leluhur Dayak tentang Kota Bataguh, Kapuas, Kalimantan Tengah - Apa sih yang terlintas saat mendengar nama Nyai Undang dan Kuta Bataguh? Lantas apa hubungannya dan seperti apa Cerita Leluhur Dayak tentang Kota Bataguh yang berada di Kapuas, Kalimantan Tengah? Berikut ulasan tentang Nyai Undang dan Kuta Bataguh | Cerita Leluhur Dayak tentang Kota Bataguh, Kapuas, Kalimantan Tengah.

Cerita Leluhur Dayak tentang Kota Bataguh: Nyai Undang dan Kuta Bataguh

Wilayah Kalimantan, menyimpan banyak legenda kota, ceritera cerita rakyat, legenda hingga artefak yang menggantikan kota yang hilang atau kota yang hilang yang kini menjadi misteri terbalut cerita mistis. Seperti legenda dari Suku Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Legenda Nyai Undang dan Kerajaan Tanjung Pematang Sawang atau Kuta Bataguh pada Abad ke-14 M. Nyai Undang meninggalkan misteri tentang Kuta Bataguh, kota yang dibangun pada masa pemerintahannya yang kemudian dihapus dari catatan sejarah.

  • Posisi letak di kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah, punya harta karun berupa situs benda bersejarah berumur ratusan tahun.
  • Satu di antaranya terdapat di Kelurahan Pulau Kupang, Kecamatan Bataguh. Di sana berdiri sebuah benteng.
  • Posisi situs yang ditemukan sangatlah luas mencapai 5.000 meter persegi dan diantaranya terdapat sungai-sungai kecil.

Sejarah Nyai Undang dan Kuta Bataguh

Kisah ini bermula di suatu tempat bernama Tanjung Pamatang Sawang (kelak dikenal sebagai Kuta Bataguh yang terletak di Pulau Kupang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah), pada masa kepemimpinan Nyai Nunyang, Istri pertama Sempung dari Tumbang Pajangei, yang mempunyai anak perempuan yang terkenal akan kecantikannya sampai ke seberang lautan bernama Nyai Undang. Atas prakarsa ayahandanya Sempung, Nyai Undang ditunangkan dengan saudara sepupunya bernama Sangalang.

Suatu ketika mampirlah di negeri Tanjung Pamatang Sawang tiga buah Pecalang (perahu layar kecil bertiang satu) membawa beberapa orang yang memperkenalkan diri sebagai bangsawan dari seberang lautan. Pemimpin tiga pecalang itu bernama Nawang, ia adalah adik seorang Raja Laut bernama Raja Sawang dari Kerajaan Solok (Sulu), di kepulauan Mindanao (sekarang Filipina bagian selatan). Kedatangannya ditemani dua orang pengawal setianya Daeng Dong dan Dayoh Boloang.

Sebagaimana kebiasaan dan adat suku Dayak sejak dahulu, bahwa menyambut dan menjamu tamu adalah kemhormatan bagi tuan rumah, mereka disambut dengan ramah oleh penduduk Tanjung Pamatang Sawang. Pesta penyambutan pun diadakan yang diiringi dengan minum-minum tuak dan Manasai (tarian untuk menghormati tamu) diiringi tabuhan gandang (gendang) dan Garantung (gong).

Saat pesta berlangsung, Nawang terpesona melihat kecantikan Nyai Undang, dan hatinya pun langsung terpaut. Walaupun telah mendengar kabar burung bahwa Nyai Undang sudah memiliki calon suami, Nawang tak perduli. Lalu Nawang menghadap Nyai Nunyang serta menyampaikan niatnya untuk meminang Nyai Undang.

Walaupun Nyai Nunyang telah memberitahukan bahwa Nyai Undang memliki tunangan dari sanak kerabat sendiri, Nawang tetap mendesak. Akhirnya Nyai Nunyang menyarankan agar Nawang sendiri yang menjumpai Nyai Undang dan mendengar langsung apa jawababnya.

Beberapa hari kemudian, diundanglah Nawang didampingi dua orang pengawalnya menghadap Nyai Udang di bentang, selanjutnya Nawang menyampaikan maksudnya untuk melamar Nyai Undang. Nyai Undang kemudian menolak dengan sopan lamaran tersebut.

Nawang tetap memaksa, melihat situasi demikian, Nyai Undang lalu berbalik tanpa berkata-kata dan masuk ke dalam kamarnya. Nawang yang sudah gelap mata karena hasratnya ditolak, tanpa mengindahkan orang banyak yang hadir di ruangan itu, serta adat yang berlaku lalu berdiri menyusul Nyai Undang masuk dan berusaha meraih tangan Nyai Undang.

Nyai Undang merasa tersinggung dan malu atas perbuatan Nawang. Dengan cepat ia menghunus Duhung Raca Hulang Jela (senjata pusaka yang matanya berbentuk tombak) terbuat dari sanaman matikei (besi yang mudah bengkok tetapi mampu memotong besi) yang tergantung di dinding lalu dengan cepatnya menikam Nawang yang tak menyangka akan serangan mendadak tersebut.

Melihat Nawang yang roboh bermandikan darah, pengawal setianya Daeng Dong dan Dayoh Boloang marah lalu diikuti seluruh pasukan yang turun dari kapal mengamuk menuntut balas. Namun aksi mereka sia-sia saja, Nyai Undang yang sudah "sawuh" (gelap mata) dibantu warga Pamatang Sawang nyaris membantai seluruh pasukan musuh. Sisa pasukan musuh yang menyerah diampuni dan dijadikan "jipen" (budak).

Konon diceritakan setelah kedatangan rombongan Nawang, ada seorang Raja Utara bernama Raja Nyaliwen yang juga bernasib sama dengan Nawang. Ia mati terbunuh dan sisa pasukannya menyerah kemudian dijadikan jipen

Mendengar tentang rencana balas dendam itu membuat Nyai Nunyang khawatir lalu jatuh sakit hingga membawa kematiannya. Kemudian kepemimpinan di Tanjung Pamatang Sawang diserahkan kepada Nyai Undang sebagai pengganti ibunya.

Menyadari situasi yang mengancam keselamatan dirinya dan penduduk Pamatang Sawang, maka Nyai Undang mengirimkan "Totok Bakaka" semacam sandi berupa "Lunju Bunu" yaitu sebatang tombak yang pada bagian matanya diberi kapur sirih sebagai tanda meminta bantuan karena ada bahaya besar mengancam. Totok Bakaka tersebut dikirim kepada adiknya Bungai serta saudara sepupunya Tambun, Rambang dan Ringkai di Tumbang Pajangei yang kemudian diteruskan ke seluruh kampung di sepanjang Sungai Kapuas Murung, Kahayan dan Katingan.

Setelah menerima totok bakaka dari Nyai Undang, Rambang dan Ringkai segera pergi ke Tanjung Pamatang Sawang untuk membahas pembuatan benteng pertahanan. Kemudian diputuskan bahwa Rendan adik Mandang dari Mantangai yang ditugaskan memimpin pencarian batang kayu ulin di sekitar Sungai Mangkutup Tumbang Murui untuk membuat benteng. Dengan dibangunnya kuta atau benteng di Tanjung Pamatang Sawang Pulau Kupang, maka daerah itu kemudian disebut Kuta Bataguh (benteng yang diperkuat).

Sedangkan Bungai dan Tambun bertugas merekrut pasukan yang akan dipersiapkan untuk mempertahankan Pamatang Sawang yang terdiri dari para kerabat yang berasal dari kampung-kampung di sepanjang sungai Kahayan.

Adapun nama para Panglima yang turut serta membela Tanjung Pamatang Sawang adalah sebagai berikut:

  1. Njaring anak Ingoi dari Hulu Miri
  2. Bungai anak Ramping dari Tumbang Miri
  3. Temanggung Kandeng keponakan Piak Batu
  4. Nocoi Riang Naroi
  5. Isoh Batu dari Batu Nyiwuh
  6. Etak dari Tewah
  7. Tamanggaung Handjungan dari Sare Rangan
  8. Tamanggung Basi Atang dari Penda Pilang
  9. Tamanggung Sekaranukan dari Tumbang Manyangen
  10. Tamanggung Renda dari Baseha
  11. Tamanggung Rangka dari Tumbang Rio
  12. Tamanggung Kiting dari Tanjung Riu
  13. Tamanggung Lapas dari kampung Baras Tumbang Miwan
  14. Tamanggung Basir Rumbun dari Teluk Haan
  15. Tamanggung Hariwung dari Tumbang Danau
  16. Tamanggung Dahiang dari Sepang Simin
  17. Tamanggung Ringkai dan Tombong dari Tangkahen
  18. Tamanggung Uhen dari kampung Manen
  19. Tamanggung Kaliti dari Rawi
  20. Rakau Kenan dari Tumbang Rungan
  21. Tamanggung Kandang Henda Pulang dari Gohong
  22. Tamanggung Andin dari Pulau Kantan (Pangkoh)

Masing-masing panglima tersebut membawa pengikut sehingga ketika dikumpulkan mencapai lima ribu orang jumlahnya.

Setelah semua berkumpul di Tanjung Pamatang Sawang atau Kuta Bataguh, Rambang dan Ringkai seperti kebiasaan Suku Dayak dalam menentukan semua langkahnya meminta petunjuk dengan memanggil burung elang lewat upacara manajah antang (upacara meminta petunjuk pada burung elang). Burung elang yang datang itu bernama Antang Kabukung Kawus yang berdiam di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, hulu sungai Kahayan. Dari arah datangnya dan patinju (tempat hinggap burung elang yang ditentukan untuk sesuatu maksud) yang dihinggapinya, elang itu meramalkan bahwa mereka akan menang.

Setelah semua berkumpul di Tanjung Pamatang Sawang atau Kuta Bataguh, Rambang dan Ringkai seperti kebiasaan Suku Dayak dalam menentukan semua langkahnya meminta petunjuk dengan memanggil burung elang lewat upacara manajah antang (upacara meminta petunjuk pada burung elang). Burung elang yang datang itu bernama Antang Kabukung Kawus yang berdiam di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, hulu sungai Kahayan. Dari arah datangnya dan patinju (tempat hinggap burung elang yang ditentukan untuk sesuatu maksud) yang dihinggapinya, elang itu meramalkan bahwa mereka akan menang.

Beberapa hari kemudian dari arah muara terlihatlah dua puluh lima buah pencalang mendekati Kuta Bataguh. Satu pecalang dilengkapi dengan umbul-umbul dan bendera kuning bergambar sauh (jangkar) warna merah dikelilingi tiga buah bintang yang merupakan tanda bahwa pecalang tersebut dinaiki Raja Sawang yang memimpin langsung penyerangan. Kemudian pencalang-pecalang itu berlabuh mengitari Pulau Kupang dimana Kuta Bataguh berada. Konon dikisahkan bahwa jumlah pasukan yang dibawa oleh Raja Sawang lebih dari delapan ribu orang banyaknya.

Beberapa sampan dengan bendera putih kemudian merapat ke tepian membawa Panglima Latang, wakil raja Sawang yang mengatakan bahwa kedatangan mereka ke situ untuk menghukum penduduk Kuta Bataguh, dan memerintahkan untuk menyerah tanpa syarat. Rambang, secara damai mengajak untuk berunding terlebih dahulu untuk menjelaskan duduk perkaranya, namun ditolak dan mereka lalu kembali ke pencalangnya.

Kemudian serentak pencalang-pecalang yang mengitari Kuta Bataguh mendekat ke tepi dan berlompatanlah ribuan orang bersenjatakan tombak, pedang dengan perisai tembaga, lalu menaiki dinding benteng. Tetapi sampai di atas mereka disambut oleh tebasan mandau, yang bagai menebas ilalang saja. Ada pula yang jatuh tanpa sempat berteriak lagi terkena anak sumpitan beracun. Sementara di bawah, beratus-ratus orang memikul sepotong kayu bulat sebesar drum menumbuk pintu benteng berdentung bunyinya, namun tidak dapat mereka hancurkan karena pintu benteng itu dibuat dari kayu ulin dua jengkal tebalnya.

Seketika itu juga mereka dihujani damek (anak sumpit) beracun dan tewas begelimpangan, namun kemudian datang kembali ratusan orang lainnya yang dilindungi dengan perisai tembaga. Melihat hal itu, Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai, Sangalang, Nyaring dan para panglima lainnya menghujani musuh dengan lemparan batu-batu sebesar kepala disusul dengan damek beracun. Serangan demi serangan datang silih berganti tanpa henti, walau sudah ribuan nyawa melayang.

Ketika hari mulai senja musuh kemudian mundur dan kembali ke pecalangnya. Pada saat itulah tiba-tiba Tambun dan Bungai keluar dari pintu benteng dan menyerang pasukan musuh yang sedang mundur. Mendengar suara "lahap" (pekikan semangat) Tambun dan Bungai yang sedang menyerang musuh di luar benteng, bergeloralah semangat para panglima dan pasukan di dalam benteng yang kemudian tanpa bisa dibendung keluar dari pintu benteng seperti air bah membabat habis musuh yang terjepit di pinggir sungai. Pasukan Raja Sawang hancur lebur dan pecalang-pecalang dinaiki para panglima beserta pasukannya. Bahkan beberapa orang menyelam dan menyeret jangkar pecalang ke daratan.

Nyai Undang pun turun bertempur, Ia langsung mencari Raja Sawang, mengingat kematian ibunya disebabkan ulah orang-orang dari laut ini. Didampingi Sangalang, calon suaminya yang hanya mengawalnya jika ada yang ingin membokong, Nyai Undang berhadapan langsung dengan raja Sawang.

Pemimpin negeri Kuta Bataguh yang rambutnya terurai hingga ke punggung telah bersumpah untuk berkeramas dengan darah musuh utamanya yaitu Raja Sawang. Ia mengamuk dengan ganasnya, hingga suatu saat duhungnya menembus badan raja Sawang.

Seluruh pasukan musuh dihancurkan, bagi yang menyerah dijadikan jipen. Perang itu berlangsung hanya dalam waktu sehari saja, menjelang senja semua sudah berakhir dengan kemenangan.

Terhadap para pemimpin pasukan penyerang yang dengan tulus hati menyerah dan bersumpah setia menjadi warga Kuta Bataguh, dilaksanakan pembauran berupa perkawinan dengan penduduk Kuta Bataguh dan diberi gelar secara adat Dayak. Pihak musuh yang diampuni dan diberi gelar antar lain adalah Tamanggung Pandung yang merupakan nenek moyang suku Dayak Bakumpai, Tamanggung Rangas yang menjadi nenek moyang orang-orang Berangas dan Tamanggung Imat yang menjadi nenek moyang orang-orang Alalak.

Setelah perang itu usai serta mayat-mayat dikuburkan baik-baik, dilaksanakan upacara membersihkan tanah air mendinginkan negeri, maksudnya agar bumi kembali sejuk dan tetumbuhan kebun ladang memberikan hasil lagi sebab telah tertumpah darah panas akibat perang itu. Sekaligus dilaksanakan pula upacara meneguhkan hati para pemimpin pertempuran dan seluruh mereka yang telah berperang, tujuannya meminta ampun kepada Tuhan terhadap perbuatan membunuh manusia dalam perang itu. Selagi mengadakan pesta itu semua utusan suku Dayak dari seluruh Kalimantan diundang. Dalam pesta itu sudah berkumpul lebih kurang tiga puluh lima wakil suku Dayak. Yang nama-namanya ada tertulis sebagai berikut :

  1. Manan dari hulu Kahayan
  2. Londoi dari Tabahoi
  3. Djato dari Bahoi
  4. Ibong dari Buit Kalimantan Utara
  5. Ikuh dari Tinggalan (Tidong)
  6. Tingang dari Bukat (Dayak Bukat)
  7. Kuit dari hulu Rundit Batang Lupar
  8. Parekoi dari Serawai
  9. Tunda Luting dari Samba Katingan
  10. Dekoi dari Malahoi
  11. Unei dari dayak Sahiei
  12. Tamban dari Katingan
  13. Mahat dari Mahalat
  14. Etas dari hulu Kapuas
  15. Dalong dari Hampotong
  16. Umbing dari Manuhing
  17. Tukoh dari Mamaruh
  18. Gana dari Mentaya
  19. Nuhan dari Saruyan
  20. Bakan dari Rungan
  21. Sindi dari Miri
  22. Bahon dari Bahaun
  23. Sawang dari Siang
  24. Djohan dari Taran
  25. Sota Munan dari Maanyan
  26. Pahan dari Kalangan
  27. Sakai dari Serawai
  28. Manoui dari Rakaoi
  29. Punan dari Heban
  30. Hinan dari Punan
  31. Hamon dari Dusun
  32. Djaman dari Kabatan
  33. Ritu dari Uru
  34. Lati dari Pari
  35. Nanau dari Lamandau

Sesudah kedua upacara itu dilaksanakan, Rambang lalu mengusulkan dilangsungkan saja perkawinan Sangalang dan Nyai Undang, mumpung semua keluarga masih berkumpul serta agar tidak ada lagi lamaran orang yang membuat permasalahan. Pendapat Rambang disetujui orang banyak dan malah bukan hanya satu pasangan saja melainkan empat pasangan lagi yakni Bungai dengan Karing, Tambun dengan Burou, Ringkai dengan Timpung serta Rambang sendiri dengan Lamiang.

Seluruh keluarga Lambung (Maharaja Bunu), Lanting (Maharaja Sangen) dan Karangkang (Maharaja Sangiang) berkumpul ke Kuta Bataguh, untuk menyelenggarakan perkawinan lima pasangan itu, selama empat puluh hari empat puluh malam. Dan selain itu Mangku Djangkan membikin pesta besar di Pulau Kantan mengawinkan Njaring anak Ingoi dengan Manjang anak Mangku Djangkan, pesta itu tujuh hari tujuh malam lamanya.

Note : Mungkin keturunan dari panglima yang disebutkan dan para undangan pada pesta di Kuta Bataguh masih memiliki ingatan pada leluhur moyangnya. 🙏🙏🙏

By. Dre Junaedy
cc. Gauri Vdk Rampai Cakra Wirawan Emil Bangkan Nila Riwut Full

Sumber :

  1. Cerita orang tua
  2. Tjilik Riwut. 1979. Kalimantan Membangun
  3. Tjilik Riwut. 2003. "Pertempuran di Pulau Kupang" dalam Dra. Nila Riwut (Ed.) Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur).

Setelah membaca cerita leluhur dari saudara Andreas Junaedy, baru tau kalau suku bakumpai, alalak dan barangas adalah dari keturunan kerajaan solok (Sulu) , Filipina selatan. Artinya suku dayak adalah suku yg pengampun, walaupun terhadap musuh... Nyai undang dari Bataguh sangat bijaksana.

Penutup

Semoga dengan membaca artikel ini, bisa menambah wawasan kita semua tentang Cerita Leluhur Dayak tentang Nyai Undang dan Kuta Bataguh di Bataguh, Kapuas, Kalimantan Tengah. dan mudah-mudahan bisa saling menghargai dan belajar dari sejarah. Amin. Salam santun dan semoga bermanfaat.

Baca juga: 12 Karomah Abah Guru Sekumpul Yang Jarang Diketahui Orang Umum

Tambahkan aplikasi Santrie Salafie di smartphone tanpa install

  1. Buka SantrieSalafie.com dengan browser Chrome di smartphone
  2. Klik ikon 3 titik di browser
  3. Pilih "Tambahkan ke layar utama"
  4. Selanjutnya klik aplikasi Santrie Salafie dari layar utama smartphone Anda untuk menggunakannya.

Atau, ikuti Santrie Salafie di Google News dengan klik icon untuk mulai mengikuti dan mendapatkan pengalaman membaca lebih mudah.

Comment Policy: Silakan baca Kebijakan Komentar kami sebelum berkomentar.
Buka Komentar
Tutup Komentar
-->